Pengertian Ilmu Kalam
A.
Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau akidah dan sesuatu yang diamalkan atau amaliah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari akidah itu. Islam adalah agama samawi yang bersumber dari Allah SWT, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yang berintikan keimanan dan perbuatan.
Keimanan dalam agama Islam merupakan dasar atau pondasi, yang di atasnya berdiri syariat Islam. Selanjutnya, dari pokok-pokok tersebut muncullah cabang-cabangnya. Antara keimanan dan perbuatan keduanya sambung menyambung, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah masalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah Yang Maha Sempurna.
Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, ilmu ushuludin, dan ilmu ma’rifat. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut pula ilmu tauhid karena pokok bahasannya dititikberatkan pada keesaan Allah SWT. Dinamakan pula ilmu kalam karena pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan logika.
Menurut Ibn Khaldun sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Selain itu adapula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi.
Dalam pada itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada dan mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada dan mesti tidak ada padanya serta sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada batas mengetahui bahwa Zat Tuhan Yang Maha Kuasa itu ada. Untuk mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan bantuan wahyu. Sebab itulah, Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul untuk menjelaskan apa dan bagaimana Allah itu melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang berkaitan dengan bukti kebenaran, keberadaan, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Adapun mengenai wujud Allah tidak dijelaskan karena hal tersebut bukanlah lokasi pembahasan rasio. Namun yang terpenting adalah penghayatan sepenuhnya akan keberadaan Zat Yang Maha Esa.
Dengan meyakini hal-hal tersebut, seorang mukmin akan menyadari kewajibannya kepada Khalik, sebab antara amal dan keyakinan terdapat kaitan erat dan amal perbuatan yang timbul merupakan konsekuensi logis dari keyakinan yang ada dalam diri seorang mukmin kepada Allah SWT. Karena itu, yang menjadi materi kajian ilmu kalam adalah :
a. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah SWT, termasuk di dalamnya tentang ketentuan (takdir) Allah kepada makhluk-makhluk-Nya.
b. Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah sebagai perantara (wasilah) antara Allah dengan manusia, seperti malaikat, para Nabi dan Rasul, dan kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan.
c. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati, seperti surga, neraka, dan sebagainya.
B. Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu Kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Ali dan Mu’awiyah yang mengkristal menjadi perang shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya dan dikenal dengan nama Khawarij. Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini telah menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadhariyah, dan Jabariyah.
Aliran mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut madzhab Ibnu Hanbal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Dalam dunia Islam, modernisasi berarti paham yang mempunyai keinginan untuk mengadakan perubahan atau pembaharuan pemikiran keagamaan dan merumuskan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan pemikiran keagamaan terutama dalam bidang teologi dirasa perlu dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Pada pertumbuhan dan perkembangan pemikiran teologi Islam, kita bisa mengetahui sekilas sejarahnya dan aliran-aliran besar dalam teologi Islam. Namun dalam masa perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran teologi tidak hanya bersifat dialektif, artinya tidak lagi memperpanjang perdebatan dengan menggunakan argumentasi masing-masing, sehingga mengklaim golongan lain salah dan menganggap dirinya yang benar. Pada masa itu tumbuh kesadaran bahwa hal itu akan menjadikan umat Islam terpecah belah. Semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits yang diserukan oleh Ibnu Taimiyah mendapat perhatian yang serius.
Sebenarnya teologi Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk memantapkan iman, namun dalam kenyataannya malah meragukan, di mana golongan yang satu dengan golongan yang lain saling berdebat untuk mencari kemenangan. Atas seruan dan sikap teologis Ibnu Taimiyah inilah kemudian berpengaruh pada pemikiran tokoh teologi sesudahnya.
Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah, dan teologi lainnya sebagai produk sejarah dari pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi, pergeseran perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.
C. Aspek-Aspek Ilmu Kalam
Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam – seperti halnya aliran pemikiran keislaman lainnya – memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Masalah-masalah ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang harus disoroti.
Secara garis besar, titik kelemahan ilmu kalam yang menjadi sorotan berputar pada tiga aspek berikut ini :
1. Aspek Ontologi
Harus diakui bahwa masalah-masalah aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa masalah-masalah aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, sedangkan persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau, yang nota bene berbeda dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.
Secara pasti, teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan. Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan kehidupan manusia.
2. Aspek Epistimologi
Yang dimaksud epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Namun, misi suci ini tidak berjalan secara sempurna karena terkontaminasi oleh interes-interes pribadi atau kelompok.
Meskipun masih perlu dikritik kembali, tuduhan-tuduhan aliran-aliran kalam cukup menggambarkan bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, para pemuka aliran-aliran kalam terkesan “memaksakan” penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan ajaran yang mereka anut, atau dalam kata lain tiap-tiap aliran kalam memanfaatkan ayat-ayat atau hadits-hadits yang sesuai dengan alur pandangan yang menguntungkan masing-masing. Semua argumen beserta dalil-dalil penguatnya yang muncul didorong untuk “memenangkan” aliran atau golongan yang kebetulan diinginkan dan didukung oleh golongan atau kelompok tertentu. Esensi dan substansi ketuhanan dan keberagamaan menjadi dinomorduakan, bahkan nyaris terlupakan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa ilmu kalam perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia dengan meninjau ulang rancang bangun epistimologi ilmu kalam.
3. Aspek Aksiologi
Pada aspek eksiologi ilmu kalam ini menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Dengan menyitir sebuah hadits, “tafakkaru fi khalqillah. . .”, Muhammad Abduh beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala macam fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat-sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum sebab akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal pikiran tidak dapat menembusnya.
D. Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar. Kedua, penelitian yang bersifat lanjutan. Penelitian model pertama sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada Al-qur’an dan hadits. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya mengembangkan dan mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
1. Penelitian Pemula
a. Model Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Mathuridi Al-Samarqandy. Ia telah menulis buku teologi yang berjudul kitab al-tauhid.
b. Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Ismail Al-Asy’ari. Ia wafat pada tahun 330 H telah menulis buku berjudul maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin sebanyak dua juz. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam tentang teologi ahlu sunnah mau tidak mau harus mempelajari buku ini dan karangan Al-Mathuridy sebagaimana tersebut di atas.
c. Model Abd Al-Jabbar bin Ahmad. Ia menulis buku yang berjudul syarh al- ushul al-khamsah yang tebalnya mencapai 805 halaman yang berisi kajian tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
d. Model Thahawiyah. Imam Thahawiyah telah menulis buku berjudul Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah yang tebalnya 536 halaman ini secara keseluruhan membahas teologi di kalangan ulama salaf.
e. Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy. Ia menulis buku berjudul al-Syamil fi Ushul al-Din dan Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-‘Itiqad li Imam al-Haramain al-Juqainy yang membahas tentang hakikat tauhid dan sifat-sifat bagi Allah.
f. Model Al-Ghazali. Ia merupakan murid Imam Al-Haramain dan dikenal sebagai Hujjatul Islam telah menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al-I”tiqad yang membahas tentang pentingnya ilmu dalam memahami agama, tentang zat Allah yang tidak memiliki jisim.
g. Model Al-Amidy, dengan karyanya yang berjudul Ghayah al-Maram fi Ilmi al-Kalam.
h. Model Al-Syahrastani, dengan karyanya Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilmi al-Kalam.
i. Model Al-Bazdawi, karyanya berjudul Kitab Ushul al-Din.
Seluruh penelitian tersebut di atas bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mungkin ajaran teologi Islam yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits serta berbagai pendapat yang dijumpai dari para pemikir di bidang teologi Islam. Penelitian-penelitian tersebut tampak menggunakan doktriner atau substansi ajaran, karena yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada dalam ilmu kalam.
2. Penelitian Lanjutan
a. Model Abu Zahrah. Ia melakukan penelitian yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid yang membahas tentang objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai pertentangan.
b. Model Ali Mushtafa Al-Ghurabi. Ia menuangkan karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu al-Ilmu al-Kalam inda al-Muslimin yang berisi tentang sejarah pertumbuhan ilmu kalam.
c. Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-Asyr. Ia melakukan penelitian terhadap pokok-pokok pemikiran yang dianut aliran ahli sunnah yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul al-Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl as-Sunnah.
d. Model Ahmad Mahmud Shubhi. Karyanya Fi Ilmi al-Kalam dituangkan dalam dua buku. Buku pertama khusus berbicara mengenai aliran Mu’tazilah dengan ajaran dan tokoh-tokohnya; sedangkan buku kedua khusus berbicara tentang aliran Asy’ariyah lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokohnya.
e. Model Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy al-Thaliby. Mereka melakukan penelitian khusus terhadap akidah kaum salaf dengan mengambil tokoh Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Ibnu Kutaibah dan Usman Al-Darimy.
f. Model Harun Nasution. Salah satu hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam buku Fi Ilmi al-Kalam, yang mengemukakan tentang sejarah timbulnya persoalan teologi dalam Islam. Ia juga melakukan analisa dan perbandingan terhadap masalah akal dan wahyu.
Dari berbagai penelitian di atas, dapat diketahui model dan pendekatan penelitian yang dilakukan dengan ciri-ciri; termasuk penelitian kepustakaan, bercorak deskriptif, menggunakan pendekatan historis, selain menggunakan analisis doktrin juga menggunakan analisis perbandingan.
Penelitian di atas jelas bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif tentang berbagai aliran teologi Islam. Namun penelitian tersebut kelihatannya belum begitu dikembangkan, karenanya metode dan pendekatan dalam penelitian teologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
BAB III
SIMPULAN
Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, ilmu ushuludin, dan ilmu ma’rifat. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Materi kajian ilmu kalam adalah :
a. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah SWT, termasuk di dalamnya tentang ketentuan (takdir) Allah kepada makhluk-makhluk-Nya.
b. Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah sebagai perantara (wasilah) antara Allah dengan manusia, seperti malaikat, para Nabi dan Rasul, dan kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan.
c. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati, seperti surga, neraka, dan sebagainya.
Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan mengenai Tuhan dengan dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Namun, ilmu kalam adalah ilmu yang dikembangkan oleh studi Islam yang tidak statis atau mati tetapi terus berkembang sampai zaman modern sekarang ini. Perkembangan ini penting karena suatu ilmu patut dipelajari kalau ilmu itu berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, Tauhid - Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. I, 1998
Mudzhar, Atho, H.M. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Rozak, Abdul, dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. II, 2006
Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau akidah dan sesuatu yang diamalkan atau amaliah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari akidah itu. Islam adalah agama samawi yang bersumber dari Allah SWT, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yang berintikan keimanan dan perbuatan.
Keimanan dalam agama Islam merupakan dasar atau pondasi, yang di atasnya berdiri syariat Islam. Selanjutnya, dari pokok-pokok tersebut muncullah cabang-cabangnya. Antara keimanan dan perbuatan keduanya sambung menyambung, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah masalah keyakinan akan adanya eksistensi Allah Yang Maha Sempurna.
Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, ilmu ushuludin, dan ilmu ma’rifat. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut pula ilmu tauhid karena pokok bahasannya dititikberatkan pada keesaan Allah SWT. Dinamakan pula ilmu kalam karena pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan logika.
Menurut Ibn Khaldun sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Selain itu adapula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi.
Dalam pada itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada dan mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada dan mesti tidak ada padanya serta sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada batas mengetahui bahwa Zat Tuhan Yang Maha Kuasa itu ada. Untuk mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan bantuan wahyu. Sebab itulah, Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul untuk menjelaskan apa dan bagaimana Allah itu melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang berkaitan dengan bukti kebenaran, keberadaan, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Adapun mengenai wujud Allah tidak dijelaskan karena hal tersebut bukanlah lokasi pembahasan rasio. Namun yang terpenting adalah penghayatan sepenuhnya akan keberadaan Zat Yang Maha Esa.
Dengan meyakini hal-hal tersebut, seorang mukmin akan menyadari kewajibannya kepada Khalik, sebab antara amal dan keyakinan terdapat kaitan erat dan amal perbuatan yang timbul merupakan konsekuensi logis dari keyakinan yang ada dalam diri seorang mukmin kepada Allah SWT. Karena itu, yang menjadi materi kajian ilmu kalam adalah :
a. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah SWT, termasuk di dalamnya tentang ketentuan (takdir) Allah kepada makhluk-makhluk-Nya.
b. Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah sebagai perantara (wasilah) antara Allah dengan manusia, seperti malaikat, para Nabi dan Rasul, dan kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan.
c. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati, seperti surga, neraka, dan sebagainya.
B. Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu Kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Ali dan Mu’awiyah yang mengkristal menjadi perang shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya dan dikenal dengan nama Khawarij. Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini telah menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadhariyah, dan Jabariyah.
Aliran mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu pengikut-pengikut madzhab Ibnu Hanbal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Dalam dunia Islam, modernisasi berarti paham yang mempunyai keinginan untuk mengadakan perubahan atau pembaharuan pemikiran keagamaan dan merumuskan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Pembaharuan pemikiran keagamaan terutama dalam bidang teologi dirasa perlu dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Pada pertumbuhan dan perkembangan pemikiran teologi Islam, kita bisa mengetahui sekilas sejarahnya dan aliran-aliran besar dalam teologi Islam. Namun dalam masa perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran teologi tidak hanya bersifat dialektif, artinya tidak lagi memperpanjang perdebatan dengan menggunakan argumentasi masing-masing, sehingga mengklaim golongan lain salah dan menganggap dirinya yang benar. Pada masa itu tumbuh kesadaran bahwa hal itu akan menjadikan umat Islam terpecah belah. Semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits yang diserukan oleh Ibnu Taimiyah mendapat perhatian yang serius.
Sebenarnya teologi Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk memantapkan iman, namun dalam kenyataannya malah meragukan, di mana golongan yang satu dengan golongan yang lain saling berdebat untuk mencari kemenangan. Atas seruan dan sikap teologis Ibnu Taimiyah inilah kemudian berpengaruh pada pemikiran tokoh teologi sesudahnya.
Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah, dan teologi lainnya sebagai produk sejarah dari pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi, pergeseran perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.
C. Aspek-Aspek Ilmu Kalam
Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam – seperti halnya aliran pemikiran keislaman lainnya – memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif. Masalah-masalah ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang harus disoroti.
Secara garis besar, titik kelemahan ilmu kalam yang menjadi sorotan berputar pada tiga aspek berikut ini :
1. Aspek Ontologi
Harus diakui bahwa masalah-masalah aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa masalah-masalah aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, sedangkan persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau, yang nota bene berbeda dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.
Secara pasti, teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan. Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan kehidupan manusia.
2. Aspek Epistimologi
Yang dimaksud epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Tiap-tiap aliran kalam memang mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Namun, misi suci ini tidak berjalan secara sempurna karena terkontaminasi oleh interes-interes pribadi atau kelompok.
Meskipun masih perlu dikritik kembali, tuduhan-tuduhan aliran-aliran kalam cukup menggambarkan bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, para pemuka aliran-aliran kalam terkesan “memaksakan” penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan ajaran yang mereka anut, atau dalam kata lain tiap-tiap aliran kalam memanfaatkan ayat-ayat atau hadits-hadits yang sesuai dengan alur pandangan yang menguntungkan masing-masing. Semua argumen beserta dalil-dalil penguatnya yang muncul didorong untuk “memenangkan” aliran atau golongan yang kebetulan diinginkan dan didukung oleh golongan atau kelompok tertentu. Esensi dan substansi ketuhanan dan keberagamaan menjadi dinomorduakan, bahkan nyaris terlupakan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa ilmu kalam perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia dengan meninjau ulang rancang bangun epistimologi ilmu kalam.
3. Aspek Aksiologi
Pada aspek eksiologi ilmu kalam ini menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Dengan menyitir sebuah hadits, “tafakkaru fi khalqillah. . .”, Muhammad Abduh beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala macam fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat-sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum sebab akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal pikiran tidak dapat menembusnya.
D. Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi kedalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar. Kedua, penelitian yang bersifat lanjutan. Penelitian model pertama sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada Al-qur’an dan hadits. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya mengembangkan dan mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
1. Penelitian Pemula
a. Model Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Mathuridi Al-Samarqandy. Ia telah menulis buku teologi yang berjudul kitab al-tauhid.
b. Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Ismail Al-Asy’ari. Ia wafat pada tahun 330 H telah menulis buku berjudul maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin sebanyak dua juz. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam tentang teologi ahlu sunnah mau tidak mau harus mempelajari buku ini dan karangan Al-Mathuridy sebagaimana tersebut di atas.
c. Model Abd Al-Jabbar bin Ahmad. Ia menulis buku yang berjudul syarh al- ushul al-khamsah yang tebalnya mencapai 805 halaman yang berisi kajian tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
d. Model Thahawiyah. Imam Thahawiyah telah menulis buku berjudul Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah yang tebalnya 536 halaman ini secara keseluruhan membahas teologi di kalangan ulama salaf.
e. Model Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy. Ia menulis buku berjudul al-Syamil fi Ushul al-Din dan Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-‘Itiqad li Imam al-Haramain al-Juqainy yang membahas tentang hakikat tauhid dan sifat-sifat bagi Allah.
f. Model Al-Ghazali. Ia merupakan murid Imam Al-Haramain dan dikenal sebagai Hujjatul Islam telah menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al-I”tiqad yang membahas tentang pentingnya ilmu dalam memahami agama, tentang zat Allah yang tidak memiliki jisim.
g. Model Al-Amidy, dengan karyanya yang berjudul Ghayah al-Maram fi Ilmi al-Kalam.
h. Model Al-Syahrastani, dengan karyanya Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilmi al-Kalam.
i. Model Al-Bazdawi, karyanya berjudul Kitab Ushul al-Din.
Seluruh penelitian tersebut di atas bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mungkin ajaran teologi Islam yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits serta berbagai pendapat yang dijumpai dari para pemikir di bidang teologi Islam. Penelitian-penelitian tersebut tampak menggunakan doktriner atau substansi ajaran, karena yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada dalam ilmu kalam.
2. Penelitian Lanjutan
a. Model Abu Zahrah. Ia melakukan penelitian yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid yang membahas tentang objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai pertentangan.
b. Model Ali Mushtafa Al-Ghurabi. Ia menuangkan karyanya berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu al-Ilmu al-Kalam inda al-Muslimin yang berisi tentang sejarah pertumbuhan ilmu kalam.
c. Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-Asyr. Ia melakukan penelitian terhadap pokok-pokok pemikiran yang dianut aliran ahli sunnah yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul al-Ushul al-Fikriyyah li Mazhab Ahl as-Sunnah.
d. Model Ahmad Mahmud Shubhi. Karyanya Fi Ilmi al-Kalam dituangkan dalam dua buku. Buku pertama khusus berbicara mengenai aliran Mu’tazilah dengan ajaran dan tokoh-tokohnya; sedangkan buku kedua khusus berbicara tentang aliran Asy’ariyah lengkap dengan ajaran dan tokoh-tokohnya.
e. Model Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy al-Thaliby. Mereka melakukan penelitian khusus terhadap akidah kaum salaf dengan mengambil tokoh Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Ibnu Kutaibah dan Usman Al-Darimy.
f. Model Harun Nasution. Salah satu hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam buku Fi Ilmi al-Kalam, yang mengemukakan tentang sejarah timbulnya persoalan teologi dalam Islam. Ia juga melakukan analisa dan perbandingan terhadap masalah akal dan wahyu.
Dari berbagai penelitian di atas, dapat diketahui model dan pendekatan penelitian yang dilakukan dengan ciri-ciri; termasuk penelitian kepustakaan, bercorak deskriptif, menggunakan pendekatan historis, selain menggunakan analisis doktrin juga menggunakan analisis perbandingan.
Penelitian di atas jelas bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif tentang berbagai aliran teologi Islam. Namun penelitian tersebut kelihatannya belum begitu dikembangkan, karenanya metode dan pendekatan dalam penelitian teologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
BAB III
SIMPULAN
Keimanan atau akidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui suatu disiplin ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu kalam, ilmu ushuludin, dan ilmu ma’rifat. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Materi kajian ilmu kalam adalah :
a. Hal-hal yang berkaitan dengan Allah SWT, termasuk di dalamnya tentang ketentuan (takdir) Allah kepada makhluk-makhluk-Nya.
b. Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah sebagai perantara (wasilah) antara Allah dengan manusia, seperti malaikat, para Nabi dan Rasul, dan kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan.
c. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati, seperti surga, neraka, dan sebagainya.
Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan mengenai Tuhan dengan dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Namun, ilmu kalam adalah ilmu yang dikembangkan oleh studi Islam yang tidak statis atau mati tetapi terus berkembang sampai zaman modern sekarang ini. Perkembangan ini penting karena suatu ilmu patut dipelajari kalau ilmu itu berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, Tauhid - Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. I, 1998
Mudzhar, Atho, H.M. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Rozak, Abdul, dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. II, 2006
ARTIKEL TERKAIT:
Post a Comment
Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D
NB: No Porn, No Sara', No women, No cry