Ikuti @fauzinesia

SADD AL-DZARI’AH

SADD AL-DZARI’AH
A. Pengertian Sadd al-Dzari’ah
Dzari’ah menurut bahasa identik dengan Washilah (perantara) dan dengan demikian Sadd al-Dzari’ah dapat diterjemahkan dengan “menghambat atau menyumbat sesuai yang menjadi perantara”.
Sadd al-Dzari’ah yang dimaksud oleh para ahli Ushul Fiqh adalah:
ﺤﺴﻢ ﻤﺎﺪﺓ ﻮﺴﺎ ﺌﻞ ﺍﻠﻔﺴﺎﺪ ﺪﻓﻌﺎﻟﻪ ﺍﻮ ﺴﺪ ﺍﻠﻄﺭﻴﻖ ﺍﻟﺘﻰ ﺘﻮﺼﻞ ﺍﻟﻤﺭﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻠﻔﺳﺎﺪ
(Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri atau pun untuk menyumbat jalan/sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan).
Tujuan penetapan hukum atas dasar Sadd al-Dzari’ah ini ialah untuk menuju kemaslahatan. Karena tujuan umum ditetapkannya hukum pada mukallaf adalah untuk kemaslahatan mereka dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan itu adakalanya syara’ memerintahkan sesuatu dan adakalanya melarang sesuatu.
Dalam larangan ada sesuatu perbuatan yang dilarang langsung karena perbuatan itu mendatangkan kerusakan. Seperti melarang meminum khamar dan adakalanya dilarang sekalipun perbuatan itu sendiri tidak langsung mendatangkan kerusakan, tetapi perbuatan itu menjadi jembatan terhadap perbuatan yang secara langsung menimbulkan kerusakan seperti menyimpan khamar. Larangan terhadap sarana yang mendatangkan pada perbuatan yang dilarang itulah penetapan hukum beerdasarkan pada “Sadd al-Dzari’ah”.

B. Macam-macam Dzari’ah
Ada dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzari’ah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.
1. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Imam al-Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah terbagi kepada empat macam:
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i). Misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya.
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menggali sumur di tempat yang biasanya tidak memberi mudarat atau menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberikan mudarat kepada orang yang memakannya.
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras.
d. Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Seperti kasus jual beli yang disebut “bay’u al-‘ajal (ﺒﻴﻊ ﺍﻵﺠﺎﻞ )”
Apabila pandangan hanya ditunjukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Pandangan seperti ini muncul dari Imam al- Syafi’i dan Ima Abu Hanifah, karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaan belaka (zhann al-mujarad) dalam kasus sepeti ini, maka tidak bisa dijadikan dasar keharaman bay’u al-‘ajal tersebut.
Apabila pandangan ditunjukan kepada akibat dari perbuatan (jual beli) itu, yang lebih cenderung menjurus kepada riba. Maka, perbuatan itu dilarang. Pandangan terakhir ini dianut oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hambal.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathibi, dalam menentukan hukum bentuk yang keempat di atas terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk keempat tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan membawa kemafsadatan atau tidak.
2. Dzari’ah dilihat dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah dari segi ini terdiri kepada:
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan.
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak. Seperti nikah al-tahlil. Dan misal dari akibat mencaci maki orang tua orang lain, menyebabkan orang tuanya juga akan dicaci maki orang tersebut.
Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dibagi lagi kepada:
a. Yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemafsadatannya.
b. Yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya.
Kedua bentuk dzari’ah ini, menurutnya ada empat bentuk, yaitu:
1. Yang sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan, seperti minum minuman keras. Pekerjaan seperti ini dilarang oleh syara’.
2. Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi ditujukan untuk melakukan suatu kemafsadatan.
3. Pekerjaan itu hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan. Seperti mencaci maki sesembahan orang musyrik yang diduga keras akan mengakibatkan munculnya cacian yang sama terhadap Allah SWT. Pekerjaan seperti itu dilarang syara’.
4. Ibn Qayyim al-Jauziyah, kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya. Oleh sebab itu, dibolehkan sesuai dengan kebutuhan.
C. Kehujjahan Sadd al-Dzari’ah
Ulama hukum Islam ada sebagian yang menggunakan Sadd al-Dzari’ah ini sebagai dasar hukum, dan ada sebagian yang tidak memakainya. Ulama yang sangat berpegang teguh kepada Saddudz dzara’i adalah dari golongan Malikiyyah dan Hanabilah. Sedang yang sedikit sekali memakainya ialah Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah. Sedang yang menolak sama sekali adalah golongan Dhahiriyah.
Ulama Malkiyyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa Sadd al-dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surah al-An’am, 6: 108:
ﻮﻻﺘﺴﺑﻮﺍ ﺍﻟﺬﻴﻥ ﻴﺪﻋﻮﻥ ﻤﻥﺪﻮﻥ ﺍﷲ ﻓﻴﺴﺑﻮﺍ ﺍﷲ ﻋﺪﻮﺍ ﺑﻐﻴﺮﻋﻟﻡ
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan . . .”
Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik. Karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama bahkan lebih.
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dapat menerima Sadd al-Dzari’ah sebagai dalil dalam maslah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam al-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Akan tetapi, menurutnya ia secara diam-diam mengerjakan shalat dzuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at. Menurut Mustafa Dib al-Bugha, contoh ini difatwakan Imam Syafi’i berdasarkan Sadd al-Dzari’ah.
Ulama Hanafiyyah juga menggunakan kaidah Sadd al-Dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya, mereka mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al-sakk, sebaiknya dilakukan secara diam-diam, sehingga ia tidak dituduh melakukan puasa pada yaum al-sakk tersebut, sedangkan Rasulullah SAW. mengatakan:
ﻤﻥ ﺼﺎﻡ ﻴﻮﻡ ﺍﻠﺸﻚ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ ﺃﺑﺎﺍﻠﻘﺎﺴﻡ
“Siapa yang puasa pada yaum al-sakk, maka ia telah ingkar kepada Aba al-Qosim (Rasulullah SAW). (H.R al-Bukhari)
Ulama Hanafiyyah tidak menerima pengakuan (iqrar) orang yang dalam keadaan mardh al-maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang kepada kematian). Karena diduga bahwa pengakuan ini akan berakibat pembatalan terhadap hak orang lain dalam menerima warisan. Misalnya, orang yang mardh al-maut itu mengaku berhutang kepada orang lain yang meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Hukum-hukum yang ditetapkan ulama Hanafuyyah di atas, menurut Muhammad Baltaji berdasarkan Sadd al-Dzari’ah.
Husain Hamid Hasan (guru besar Ushul fiqih di fakultas hukum Universitas Cairo, Mesir), mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah dapat menerima kaidah Sadd al-Dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya diduga keras (ghilbah al-zhann) akan terjadi.
Ada dua sisi cara memandang dzari’ah yang dikemukakan ulama Ushul Fiqih, yaitu:
1. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram. Seperti nikah al-tahlil (seseorang yang menikahi wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali, dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami pertamanya). Pada dasarnya nikah dianjurkan Islam, tetapi motivasinya mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti ini dilarang.
2. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negatif. Misalnya, seorang muslim yang mencaci maki sesembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk menunjukan kenbenaran ‘aqidahnya yang menyembah Allah Yang Maha Benar. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan itu dilarang.
Kesimpulan menurut Wahbah al-Zuhaili, Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu. sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukan.
Ulama Zhahiriyyah tidak menerima Sadd al-Dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nash secara harfiah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

ARTIKEL TERKAIT:

Post a Comment

Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D

NB: No Porn, No Sara', No women, No cry

Cari disini

#Pengunjung

Instagram