Edward Lee Thorndike
A. Biografi Edward Lee Thorndike
Thorndike
lahir di Wiliamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan meninggal di Montrose,
New York, pada tanggal 10 Agustus 1949, ia
adalah tokoh lain dari aliran fungsionalisme kelompok Columbia. Setelah ia
menyelesaikan pelajarannya di Harvard, ia bekerja di Teacher’s College of
Columbia di bawah pimpinan James Mckeen Cattell. Di sinilah minatnya yang
besar timbul terhadap proses belajar, pendidikan, dan intelegensi. Pada
tahun 1898, yaitu pada usia 24 tahun,
Thorndike menerbitkan bukunya yang berjudul: Animal Intelligence: An Experimental Study of Association Process in Animal yang dipublikasikan pada tahun 1898 dan kemudian dikembangkan dan dipublikasikan kembali dalam bentuk buku berjudul Animal Intelligence (1911). Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung, yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu.
Thorndike menerbitkan bukunya yang berjudul: Animal Intelligence: An Experimental Study of Association Process in Animal yang dipublikasikan pada tahun 1898 dan kemudian dikembangkan dan dipublikasikan kembali dalam bentuk buku berjudul Animal Intelligence (1911). Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung, yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu.
Teori ini disebut dengan
teori S-R (Stimulus-Respon), dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses
belajar, pertama kali organisme (hewan, orang) belajar dengan cara coba salah (Trial
end Error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung
masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari
kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat
menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang
harus di keluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu
masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya,
yang di masukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat,
mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu
pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan
langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama. Thorndike
berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog. Lulus S1 dari Universitas
Wesleyen di Conecticut tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar
doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain berjudul:
(1) Educational Psychology (1903), (2) Mental and social Measurements
(1904), (3) Animal Intelligence (1911), (4) A teacher’s Word Book (1921),
(5) Your City (1939), dan (6) Human Nature and The Social Order (1940).
Pada mulanya, pendidikan dan
pengajaran di Amerika Serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike
(1874-1949), teori belajar Thorndike di sebut Connectionism
(koneksionisme) karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi
antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut Trial and Error
dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike
mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku
beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang
dewasa.
Teori
koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar Lee
Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen
ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor
kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang
tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan
bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu merupakan
situasi stimulus yang merangsang kecil untuk bereaksi melepaskan diri dan
memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong,
mencakar dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan
yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu
berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle
box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya,
tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan
eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan
antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut S-R
Bond Theory dan S-R Psycology of learning, selain itu
teori ini juga terkenal dengan Trial and Error Learning. Istilah ini
menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai
suatu tujuan. Apabila kita perhatikan secara seksama dalam eksperimen Thorndike
tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan
kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan
berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle
box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan
gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat dipastikan
bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam
belajar.
Kedua, tersedianya
makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif atau memuaskan
yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar
yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan
efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut..
Percobaan
yang dilakukan berulang-ulang maka akan terlihat beberapa perubahan yaitu :
1. Waktu yang
diperlukan untuk menyentuh engsel bertambah singkat.
2. Kesalahan-kesalahan
(reaksi yang tidak relevan) semakin berkurang dan malah akhirnya kucing sama
sekali tidak berbuat kesalahan lagi, begitu dimasukkan ke dalam kotak, kucing
langsung menyentuh engsel.
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi
baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas
untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi
sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan
stimulasinya.
Ciri-ciri
belajar dengan Trial and Error yaitu:
1.
Ada motif pendorong aktivitas
2.
Ada berbagai respon terhadap situasi
3.
Ada aliminasi respon-respon yang
gagal atau salah
Kemudian menurut Thorndike praktek
pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan
dengan proses belajar. Menurutnya mengajar yang baik adalah tahu apa yang
hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respon apa yang
akan diharapkan dan kapan harus memberi hadiah (reward).
Ada beberapa
aturan yang di buat Thorndike berkenaan dengan pengajaran, yaitu:
1. Perhatikan situasi murid
2. Perhatikan respons yang ingin anda
kaitkan dengan situasi itu
3. Ciptakan hubungan respon tersebut
dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya
4. Jika hal-hal
lain tidak berubah, jangan jalin ikatan yang nanti harus diputuskan lagi
5. Jika hal-hal lain tidak berubah, jangan
menjalin dua atau tiga ikatan apabila satu saja sudah cukup
6. Jika hal-hal lain tidak berubah,
bentuklah ikatan dengan cara yang membuat mereka mesti bertindak
7. Ciptakan suasana belajar sedemikian
rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun
dari hasil percobaan Thorndike maka dikenal tiga hukum pokok, yaitu:
1. Hukum Latihan (Law or Exercise)
Hukum ini mengandung dua hal, yaitu:
1) The Law Of
Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi
antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering digunakan. Dengan kata lain bahwa hubungan
antara stimulus dan respon itu akan
menjadi kuat semata-mata karena adanya latihan.
2) The Law of
Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah bila
tidak ada latihan. Ringkasnya,
hukum latihan menyatakan bahwa kita belajar dengan berbuat dan lupa karena tidak berbuat.
Prinsip ini menunjukkan bahwa ulangan
merupakan hak yang pertama dalam belajar. Makin sering suatu pelajaran yang
diulang makin mantaplah bahan pelajaran tersebut dalam diri siswa. Pada
prakteknya tentu diperlukan berbagai variasi, bukan ulangan sembarang ulangan.
Dan pengaturan waktu distribusi frekuensi ulangan dapat menentukan hasil
belajar.
2. Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum ini juga berisikan dua hal, yaitu:
suatu tindakan atau perbuatan yang menghasilkan rasa puas (menyenangkan) akan
cenderung diulang, sebaliknya suatu tindakan (perbuatan) menghasilkan rasa
tidak puas (tidak menyenangkan) akan cenderung tidak diulang lagi. Hal ini
menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu sendiri.
Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan hukuman.
Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan lagi perbuatan yang
menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman cenderung menyebabkan seseorang
menghentikan perbuatan, atau tidak mengulangi perbuatan.
3. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini
menjelaskan tentang kesiapan individu dalam melakukan sesuatu. Yang dimaksud
dengan kesiapan adalah kecenderungan untuk bertindak. Agar proses belajar
mencapai hasil yang sebaik-baiknya, maka diperlukan adanya kesiapan organisme
yang bersangkutan untuk melakukan belajar tersebut. Ada tiga keadaan yang
menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu :
1)
Bila pada organisme adanya
kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan
kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
2)
Bila pada organisme ada kesiapan
organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat
melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
3)
Bila pada organisme tidak ada
persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal
tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Di
samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep
penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan Transfer
of Training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh
anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang.
Dalam konteks pembelajaran konsep Transfer of Training merupakan hal
yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan
dipelajari tidak akan bermakna.
Oleh
karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna dan dapat
dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan
membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar sekolah, walaupun di
sekolah tidak diajarkan bagaimana membaca koran, tapi karena huruf-huruf yang
diajarkan di sekolah sama dengan huruf yang ada dalam koran, maka keterampilan
membaca di sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, untuk membaca majalah,
atau membaca apapun.
Selain ketiga hukum
pokok di atas, Thorndike mengemukakan adanya lima hukum tambahan, yaitu :
1.
Law of multiple response, yaitu individu mencoba berbagai
respon sebelum mendapat respon yang tepat.
2.
Law of attitude, yaitu proses belajar dapat
berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa.
3.
Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi
secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi
tertentu. Individu dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah
lakunya kepada hal-hal yang pokok, dan meninggalkan hal-hal yang kecil.
4.
Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai
reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu bereaksi
terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya waktu yang lalu.
5.
Law of assciative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki
individu dapat melekat stimulus baru.
Menurut
Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba. Mencoba-coba ini dapat
dilakukan manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respon.
Karakteristik belajar secara mencoba-coba adalah sebagai berikut :
1.
Adanya motif pada diri seseorang
yang mendorong untuk melakukan sesuatu.
2.
Seseorang berusaha melakukan
berbagai macam respon dalam rangka memenuhi motif-motifnya.
3.
Respon-respon yang dirasakan tidak
sesuai dengan motifnya akan dihilangkan.
4.
Akhirnya, seseorang mendapatkan
jenis respon yang paling tepat.
Thorndike
juga mengemukakan prinsip-prinsip belajar yaitu :
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang bagi dia
termasuk baru, berbagai ragam respon maka akan ia lakukan. Respon tersebut ada
kalanya berbeda-beda sampai yang bersangkutan memperoleh respon yang benar.
2. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa
pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya
turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
3. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk
mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau tidak
penting hingga akhirnya dapat menentukan respon yang tepat.
4. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi
yang sama.
5. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan
situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi
tersebut mempunyai hubungan.
6. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatif lebih
mudah untuk dipelajari.
D. Penerapan Teori Thorndike Dalam Belajar
Penerapan teori Thordike dalam belajar menurut Rumini (1993) antara
lain: (1) Thorndike berpendapat bahwa cara mengajar yang baik bukanlah
mengharapkan murid tau apa yang telah diajarkan. Dengan ini guru harus tahu
materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus
memberikan hadiah atau membenarkan yang salah, (2) tujuan pendidikan masih dalam
batas kemampuan belajar peserta didik, (3) supaya peserta didik dapat mengikuti
pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks, (4) dalam belajar motivasi tidak terlalu penting karena prilaku
peserta didik terutama ditentukan oleh external reward dan bukan intrinsic
motivation, (5) peserta didik yang belajar baik, diberi hadiah, (6) serta
situasi belajar harus menyenangkan dan materi yang diberikan harus ada
manfaatnya.
E.
Analisis Kritis Teori Thorndike
Setiap
teori dan metode dalam kajian ilmu pendidikan memiliki sejumlah kelebihan dan
kekurangan. Demikian juga teori yang dirintis oleh Thorndike memiliki
sejumlah kelebihan dan kekurangan
sebagai berikut:
· Kelebihan:
Kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan
anak untuk berfikir linier. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shapping yaitu membawa anak menuju atau mencapai target
tertentu.
·
Kekurangan:
1. Thorndike menggunakan
teori berupa binatang (kucing). Dalam kajian pendidikan konsep seperti ini cukup
mendapatkan kontroversial oleh para ahli pendidikan. Sejumlah pakar membedakan
antara pendidikan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran, dengan dressur atau
ketrampilan yang diajarkan kepada binatang. Binatang secara prinsip tidak bisa
memiliki konsep pendidikan dan pembelajaran sebab binatang hanya
mengandalkan insting. Sehingga beberapa pakar menolak atas teori Thorndike
yang menyandingkan pembelajaran dengan binatang.
2. Teori Thorndike
terlalu memandang manusia sebagai mekanismus
dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah
laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu
dapat dipengaruhi secara Trial and Error. Trial and error tidak
berlaku mutlak bagi manusia.
3. Teori Trondike memandang belajar
hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut
dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus. Tidak
memungkinkan munculnya nalar yang lebih mendalam dan lebih luas terhadap
makna-makna diluar hal-hal yang di asosiasikan.
4. Karena belajar
berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya
sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai
unsur yang pokok dalam belajar.
5. Implikasi dari teori
ini dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang
bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
6. Teori ini menganggap
bahwa pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi
dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan
kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam
proses evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan
dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau
dalam proses evaluasi.
7. Pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
8. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada keterampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
9. Evaluasi menekankan
pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Teori belajar yang dekemukakan
Edward Lee Thorndike disebut dengan teori Connectionism atau dapat juga
di sebut Trial and Error Learning.
2. Ciri-ciri belajar dengan Trial
and Error adalah :
- Ada motif pendorong aktivitas
- Ada berbagai respon terhadap situasi
- Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
- Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan
3. Hukum-hukum yang digunakan Edward
Lee Thorndike adalah hukum latihan, hukum efek dan hukum kesiapan.
DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R, dan Matthew H. Olson dialihbahasakan oleh Tri
Wibowo, Theoris of Learning (Teori Belajar), Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2009
Imran, Ali, Belajar
dan Pembelajaran, Jakarta, Pustaka Jaya, 1996
Muhibinsyah, Psikologi
Belajar, Jakarta, Logos, 1999
Nunzairina, Diktat
Psikologi Pendidikan, Medan, 2009
Rumini, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta,
UPP UNY, 1995
Soemanto,
Wasty, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1998
Wina, Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group 2006
Winansih dan
Varia, Psikologi Pendidikan, Medan, Latansa Press, 2009
Sartito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh
Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang, 2006
ARTIKEL TERKAIT:
2 Ninggal jejak
makasih informasinya sangat berguna sekali
bolehkah ibu menyusui minum tolak angin
Post a Comment
Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D
NB: No Porn, No Sara', No women, No cry