Tafsir Dengan Ra'yu
HADITS
TENTANG MENAFSIRKAN ALQURAN DENGAN RA’YU
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Setelah
berakhirnya masa salaf sekitar abad ke-3 H, peradaban islam semakin maju dan
berkembang, lahirlah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat.
Masing-masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka mencari ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits nabi, kemudian mereka menafsiri sesuai dengan keyakinan
yang mereka anut. Ketika itu berkembang bentuk Tafsir bi al-Ra’yi.
Melihat perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi yang sangat pesat, Manna’
al-Qaththan mengatakan bahwa perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi mengalahkan
perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur.
Meskipun Tafsir
bi al-Ra’yi berkembang dengan pesat, namun tanggapan ulama terbagi menjadi
2 macam, yaitu ada yang melarang dan adapula yang melarang. Tetapi setelah
diteliti, perbedaan tersebut hanya bersifat lafdzi (redaksi). Kedua
pendapat tersebut sama-sama mencela penafsiran yang hanya berdasarkan pada ra’yi
(pemikiran) semata tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dan ketentuan yang
berlaku. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan
as-Sunnah.
Dalam makalah ini
penulis berusaha meneliti kualitas sanad dan matan hadis Nabi berkenaan dengan
tafsir bi Ra’yi.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa persoalan berikut?
1. Dalam kitab-kitab mana saja terdapat
hadis-hadis yang memuat tentang tafsir bi Ra’yi?
2. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis
tentang hadis tafsir bi Ra’yi?
II.
PEMBAHASAN
A. TAKHRIJ
HADIS
Secara
leksikal takhrij berarti keluar, nampak, jelas. Dalam hal ini, makna takhrij
yang populer digunakan ulama ialah al-istinbath (hal mengeluarkan), al-tadrib
(hal melatih), dan al-taujih (hal menghadapkan atau menjelaskan).[1]
Adapun
takhrij menurut terminologi ulama hadis adalah: 1. Menyebutkan hadis
beserta sanadnya, mendiskusikan keadaan sanad dan matannya seperti yang
terdapat dalam kitab Sunan Tirmizi dan Sunan Abu Dawud. 2. Menyebutkan jalur
sanad lainnya untuk memperkuat sanad hadis yang terdapat dalam suatu kitab. 3.
Mengembalikan hadis kepada kitab-kitab asalnya dengan menjelaskan kualitasnya.[2]
Yang
penulis maksud dengan takhrij hadis disini adalah mengeluarkan hadis
dari sumber aslinya dengan mencantumkan sanad dan matannya kemudian menjelaskan
kualitas hadis tersebut.
Syuhudi
Ismail menyebutkan sedikitnya tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij
dalam penelitian hadis yaitu:
1. Untuk mengetahui asal-usul hadis yang
akan diteliti
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi
hadis yang akan diteliti
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid
dan mutabi’ pada sanad yang diteliti.[3]
Ada
5 (lima) metode yang ditawarkan ulama hadis dalam proses pelaksanaan takhrij
yakni berdasarkan kitab-kitab kumpulan hadis, lafal-lafal hadis, rawi pertama,
tematik dan ciri-ciri tertentu.[4]
Dalam pelaksanaan takhrij kali ini penulis menggunakan metode takhrij
melalui lafal-lafal hadis (takhrij bi al-fazh) dengan menggunakan kitab Mu’jam
Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi, CD Program Mausu’ah Hadis
Syarif Kutub Tis’ah dan sebagian data diambil dari CD Maktabah Syamilah.
Adapun
potongan hadis yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah:
مَنْ
قَالَ فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزّ
Berdasarkan potongan hadis di atas maka
penulis menelusuri dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi,
CD Program Mausu’ah Hadis Syarif Kutub Tis’ah dan sebagian data dari CD
Maktabah Syamilah dengan menggunakan dua lafal kata kunci yakni kata:" ‘كِتَابِ’. Kata ‘كِتَاب ‘ digunakan karena menurut penulis merupakan kata yang sangat
asing didengar dan jarang dimuat dalam hadis Nabi sehingga memudahkan pelacakan
hadis dari sumber asalnya. Berdasarkan
kata tersebut ditemukan kelengkapan potongan hadis di atas pada beberapa
kitab hadis, yakni:
NO
|
Mu’jam
Mufahras
|
NO
|
CD
Maktabah Syamilah
|
1.
2.
|
Abu
Daud, 531.
Turmuzi,
|
1.
2.
|
Abu
Daud, Bab Ilmu, Sunan Abi Daud Juz 10, no. 3167.
Turmuzi,
Sunan Turmuzi, , juz 10, h. 208.
|
Berdasarkan
informasi dari يعش sumber di atas, ditemukan kelengkapan matan hadis yang tengah
diteliti. Berikut adalah bunyi teks hadis secara lengkap:
1. Sunan Abi Daud, kitab Al-Kalam
fi Kitabillah Bi Gairi Ilmin, no. 3167.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا
سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ
عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
2. Sunan Turmuzi, kitab Maa Jaa
A Fi Allazi Yufassiru Al-Quran Bi Ra’yihi, no. 2876.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ
هِلَالٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَزْمٍ أَخُو
حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ
الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ
بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
B. I’TIBAR
HADIS
Setelah
dilakukan takhrij hadis dengan menggunakan tiga sumber pelacakan hadis
maka langkah berikutnya adalah melakukan i’tibar yakni meneliti semua
jalur hadis yang memiliki teks yang sama (bi al-lafzi) maupun maknanya
serupa (bi al-ma’na) untuk melihat ada tidaknya pendukung (corraboration)
berupa periwayat yang berstatus syahid (pendukung pada tingkat sahabat)
atau mutabi’ (pendukung bukan dari sahabat) atau hadis tersebut
menyendiri (fard).[5]
Dengan
ditemukannya jalur periwayat lain baik yang berstatus sebagai syahid
maupun mutabi’ akan semakin menguatkan kedudukan hadis tersebut. Apabila
jalur periwayat yang semula berstatus dhaif, misalnya, maka derajatnya
dapat naik menjadi hasan li ghairihi atau apabila jalur sanadnya yang
semula berstatus hasan, dengan adanya syahid atau mutabi’ maka
hadis tersebut dapat naik statusnya menjadi hadis shahih li ghairihi.[6]
Karenanya, i’tibar mesti dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi
periwayatan hadis.
Dalam
hal ini, untuk lebih merepresentasikan hadis Nabi berkenaan dengan tata cara
dan kebiasaan makan beliau maka semua jalur sanad hadis dijadikan bahan i’tibar.
Berikut adalah skema i’tibar yang dimaksud.
مَنْ قَالَ فِي
كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأ
![]() |










ابو
داود
Berdasarkan
skema jalur sanad hadis di atas dapat disimpulkan:
1. Setelah memperhatikan seluruh rangkaian
sanad hadis pada i’tibar di atas, diketahui bahwa tidak ditemukan jalur
periwayatan yang berkedudukan sebagai syahid sebab pada perawi sahabat
hanya ditemukan seorang perawi pada semua jalur sanad yakni Jundub atau Abu Dzar Al Gifari.
2. Terdapat mutabi’ ditingkat tabi’in
kecil yakni Ya’qub bin Ishaq dan Hubban bin Hilal.
Adapun
lambang yang digunakan dalam seluruh jalur periwayatan adalah عن,
حدثنا, .
C.
KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
Dalam
penelitian ini, jalur hadis yang akan diteliti adalah jalur riwayat Abu Daud dari
Abd Allah bin Muhammad.
Jalur
periwayatan Abu Daud berbunyi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا
سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ
عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Artinya:
Menceritakan kepada kami Abd Allah bin Muhammad bin Yahya.’ Telah menceritakan
kepada kami Ya’quub bin Ishhaq al-Muqri’u al-Hadramiyu telah menceritakan
kepada kami Suhail bin Mihran saudara Hazam al-Qutha’i telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Imran dari Jundub, iya berkata “Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa berbicara dalam kitab Allah menggunakan pendapatnya,meskipun benar
maka iya telah salah.
1.
Kritik Sanad
Dalam
kaedah kesahihan hadis dinyatakan bahwa syarat hadis yang dinilai shahih
apabila memenuhi lima kriteria[7]
yakni:
- Apabila sanad hadis tersebut bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi.
- Seluruh perawi pada jalur sanad tersebut bersifat adil
- Seluruh perawi bersifat dhabit
- Tidak terdapat syadz
- Tidak terdapat ‘illah
Dengan
kriteria diatas dapat dinilai tingkat kualitas suatu hadis. Apabila suatu hadis
memenuhi semua kriteria tersebut maka ia dinilai shahih namun bila salah satu
kriteria tidak terpenuhi maka akan dinilai dhaif. Tiga kriteria pertama
berkenaan secara dengan kritik sanad sedang dua kriteria terakhir berkaitan
dengan sanad dan matan. Untuk mengetahui kualitas persambungan sanad dan ke’adilan
serta kedhabitan para perawinya dilakukan penelitian tentang biografi
perawi. Adapun jalur periwayatan sanad yang hendak penulis teliti dalam
penelitian ini adalah dua jalur yakni riwayat Abu Daud dan At Tirmizi. Adapun
perawi dari jalur riwayat Abu Daud adalah sebagai berikut: 1. Jundub (perawi
I); 2. Abu ‘Imran (perawi II); 3. Suhail bin Mihran (perawi III); 4. Ya’qub bin
Ishaq (perawi IV); 5. Abdullah bin Muhammad (perawi V); 6. Abu Daud (mukharrij).
Sedang perawi dari jalur riwayat At Tirmizi adalah sebagai berikut: 1. Jundub
(perawi I) 2. Abu ‘Imran (perawi II); 3. Suhail bin Mihran (perawi III); 4.
Hubban bin Hilal (perawi IV); 5. At Turmuzi (mukharrij). Berikut akan dipaparkan mengenai biografi perawi
hadis yang menjadi fokus penelitian.
a. Biografi para Perawi Hadis
Dalam
menilai kualitas ketersambungan sanad hadis mulai dari perawi awal sampai pada mukharrij
hadis, ulama mengandalkan kitab-kitab biografi perawi hadis. Ketersambungan
sanad dapat ditentukan melalui tahun lahir dan wafat seorang perawi, tempat
tinggalnya, perjalanannya dalam menuntut ilmu dan yang penting juga adalah
hubungan guru dan murid antar perawi hadis. Sedang keadilan dan kedhabitan
perawi didapat dari informasi penulis kitab biografi perawi tentang sifat,
sikap dan kemampuan daya ingatnya selama meriwayatkan hadis.
Untuk
kesempurnaan biodata para perawi hadis, penulis berusaha menggabungkan data
biografi perawi dari kitab-kitab rijal hadis dengan informasi yang diambil dari CD Program Mu’jam
Mufahras dan Maktabah Syamilah.
Berikut
adalah biografi semua perawi hadis yang tengah diteliti:
Jalur
Riwayat Abu Daud
a.
Imam
Abu Dawud
Abu Daud (817 /
202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah
seorang perawi hadits,
yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di
antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu
Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, dia
bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama
yang paling luas perjalanannya.
Ia
mempunyai banyak guru di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan
negeri lainnya.Diantara guru-gurunya adalah Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad,
Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu
Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya
bin Ma'in, Mahmud bin Khalid bin Abi Khalid Abu Khaitsamah, Zuhair
bin Harb, ad-Darimi,
Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu
Abi Syaibah dan ulama
lainnya.
Diantara
murid-muridnya adalah, Imam Turmudzi , Imam Nasa'i
, Abu Ubaid Al Ajury , Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan
Abi Daud dari dia) dll.
Penilaian
kritikus hadis terhadap dirinya. Adz Dzahabi menuturkan:Abu Daud dengan
keimamannya dalam hadits dan ilmu-ilmu yang lainnya,termasuk dari ahli fiqih
yang besar,maka kitabnya As Sunan telah jelas menunjukkan hal tersebut.
Sedangkan Ad dzahabi mengatakan tsiqah
hafidzh’
b.
‘Abd Allah bin Muhammad bin Yahya
Gelar
beliau adalah Abu Muhammad. Beliau termasuk kalangan Thabiul Atba’ dikalangan
tua. Beliau hidup dinegeri Thabariyah. Abu Hatim berpendapat bahwa beliau
Shaduuq, dan An Nasa’i berpendapat beliau syaikh Sholeh. Sedangkan Ibnu Hajar
berpendapat bahwa beliau ini tsiqah.
Beberapa
murid beliau:
أبو داودو, أحمد بن سيار المروزى, أبو بكر عبد الله بن أبى داود
السجستانى, عبد الله بن
محمد بن نصر, عبيد الله بن
أحمد بن الصنام, محمد بن سفيان, موسى بن سهل,يحيى
بن عبد الباقى الأذنى
Beberapa
guru-guru beliau:
أسد بن موسى المصرى, محمد بن يوسف الفريابى, مؤمل بن إسماعيل, الوليد بن محمد الموقرى
الوليد بن مسلم
c.
Ya’qub bin Ishaq
Gelar
beliau yaitu Abu Muhammad. Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid. Beliau
hidup di Bashrah. Ia wafat tahun 205 H. Ulama seperti Ahmad binHambal, Abu
Hatim, Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau ini Shaduuq. Sedangnkan Adz Zahabi
berpendapat bahwa beliau ini Tsiqah. Beliau termasuk tabiut thabi’in kalangan
biasa.
Murid-murid
beliau:
أحمد بن ثابت الجحدرى ,أحمد بن نصر النيسابورى, إسحاق بن إبراهيم شاذان الفارسى, الحسن بن الصباح البزار, الحسين بن سلمة بن أبى كبشة, الحسين بن عبد المؤمن, الحسين بن على بن يزيد الصدائى ,رزق الله بن موسى الكلوذانى ,سهل بن صالح الأنطاكى, عبد الله بن محمد يحيى الطرسوسى
المعروف بالضعيف ,عبد الأعلى بن
حماد النرسى, عبد الرحمن بن
عبد الوهاب العمى ,عبد الرحمن بن
محمد بن سلام الطرسوسى , أبو قدامة عبيد
الله بن سعيد السرخسى, عثمان بن طالوت
بن عباد, عقبة بن مكرم
العمى ,على بن سلمة
اللبقى, عمرو بن على
الفلاس, عمرو بن محمد
الناقد, الفضل بن سهل
الأعرج, محمد بن
إبراهيم بن صدران, أبو بكر محمد
بن رزق الله, محمد بن معمر
البحرانى , محمد بن يونس
الكديمى, يحيى بن حكيم
المقوم ,أبو حاتم
السجستانى النحوى أبو الربيع
الزهرانى, أبو العباس
القلورى ,أبو قلابة
الرقاشى .
Guru-guru
beliau:
الأسود بن شيبان ,بشار بن أيوب الناقط, حماد بن سلمة , ذيال بن عبيد المالكى, ربيعة بن كلثوم, زائدة بن قدامة , زكريا بن سليم, زيد بن عبد الله بن أبى إسحاق
الحضرمى , سعيد بن خالد
الخزاعى, سلم بن زرير, سليم بن حيان الهذلى ,سليمان بن معاذ الضبى ,سهيل بن مهران القطيعى ,سوادة بن أبى الأسود, سلام أبى المنذر القارىء, شعبة بن الحجاج عامر بن صالح بن
رستم ,عبد الرحمن بن
إبراهيم القاص, عبد الرحمن بن
ميمون مولى ابن سمرة , عبد السلام بن
عجلان, عمر بن حفص
المدنى, محمد بن الخطاب
بن جبير بن حية الثقفى, مرجى بن رجاء
البصرى, أبى جزء نصر بن
طريف, النضر بن معبد
الجرمى, هارون بن موسى
النحوى, همام بن يحيى, أبى عوانة الوضاح بن عبد الله, يزيد بن إبراهيم التسترى, أبى عقيل الدورقى.
d. Suhail bin Mihran
gelar
beliau adalah Abu Bakar. Beliau hidup di Bashrah. Yahya bin Ma’in berpendapat
bahwa beliau ini Shaleh. Sedangkan Abu Hatim dan An Nasa’i menyebutkan bahwa
beliau ini laisa bi qowi. Dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat bahwa beliau
ini Dhoif. Beliau termasuk tabiut tabi’in kalangan tua.
Murid-murid
beliau:
أبو إسحاق إسماعيل بن
سيف البصرى, عبيد الله بن
عمر القواريرى
Guru-guru beliau:
عثمان بن سعد الكاتب, عمر بن عامر البصرى , يحيى بن أبى إسحاق الحضرمى, يونس بن عُبيد .
e. Abu Imran
Nama
lengkapnya Abu Malik bin Habib. Beliau hidup di Bashrah dan wafat tahun 128 h.
Yahya bin Ma’in, Ibnu Saad, Adz Zahabi berpendapat bahwa beliau ini tsiqoh. Abu
Hatim menyebutnya Shalih, sedangkan An Nasa’i menyebutnya laisa bihi ba’s.
Beliau termasuk thabiin kalangan biasa.
Murid-muridnya:
أبان بن يزيد العطار ,جعفر
بن سليمان الضبعى ,أبو
قدامة الحارث بن عبيد الإيادى ,الحجاج
بن فرافصة ,حماد
بن زيد ,حماد
بن سلمة ,حماد
بن نجيح السدوسى ,زياد
بن الربيع اليحمدى ,سليمان
التيمى ,سهيل
بن أبى حزم ,سلام
بن أبى مطيع ,شعبة
بن الحجاج ,صالح
بن بشير المرى
أبو عامر صالح بن رستم
الخزاز ,صدقة
بن موسى الدقيقى ,عبد
الله بن عون ,عبد
العزيز بن عبد الصمد العمى ,عوبد
بن أبى عمران الجونى ,مرحوم
بن عبد العزيز العطار ,أبو
جزء نصر بن طريف
هارون بن موسى النحوى ,همام
بن يحيى
Guru-guru
beliau:
أسير بن جابر, أنس
بن مالك ,جندب
بن عبد الله البجلى ,أبى
فراس ربيعة بن كعب الأسلمى
زهير بن عبد الله
البصرى ,طلحة
بن عبد الله بن عثمان بن عبيد الله بن معمر التيمى ,عائذ بن عمرو المزنى
عبد الله بن رباح
الأنصارى ,عبد
الله بن الصامت ,علقمة
بن عبد الله المزنى ,قيس
بن زيد ، قاضى المصرين, المشعث
بن طريف ,يزيد
بن بابنوس ,أبى
أيوب الأزدى المراغى, أبى
بكر بن أبى موسى الأشعرى ,أبى
عسيم .
f. Jundub
Nama
lengkapnya adalah Jundub bin Abdullah bin Sufyan. Beliau hidup di Kufah dan
wafat tahun 64 h. Beliau termasuk shahabat.
Murid-murid
beliau:
الأسود بن قيس ,أنس
بن سيرين ,الحسن
البصرى ,سلمة
بن كهيل ,شهر
بن حوشب
صفوان بن محرز ,أبو
تميمة طريف بن مجالد الهجيمى ,عبد
الله بن الحارث النجرانى ,أبو
عمران عبد الملك بن حبيب الجونى ,عبد
الملك بن عمير ,محمد
بن سيرين ,أبو
بشر الوليد بن مسلم العنبرى
أبو مجلز لاحق بن حميد
,أبو
السوار العدوى ,أبو
عبد الله الجشمى ,و
غيرهم من أهل الكوفة و أهل البصرة .
Guru-guru
beliau:
النبى صلى الله عليه
وسلم ,حذيفة
بن اليمان .
Jalur
periwayatan imam At Turmuzi
a.
Imam At Turmudzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi (atau ringkasnya Imam Tirmidzi/At-Tirmidzi, ejaan
alternatif At-Turmudzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah
belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at-Tirmidzi
dan Al-Ilal. Ia mengatakan bahwa ia sudah pernah menunjukkan kitab
Sunannya kepada ulama-ulama Hijaz, Irak,
dan Khurasan,
dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu
Kitab Al-Jami’ yang merupakan salah satu dari Kutubus
Sittah (enam kitab pokok bidang hadits) dan ensiklopedia hadits
terkenal. Beliau meninggal tahun 279h.
Al-Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar
Umar bin Alak mengomentari pribadi At-Tirmidzi sebagai berikut; kematian Imam
Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain
daripada Abu 'Isa at-Tirmidzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Al-Khalili menyebut beliau ini tsiqoh.
Murid-murid
beliau:
أبو بكر أحمد بن
إسماعيل بن عامر السمرقندى, أبو
حامد أحمد بن عبد الله بن داود المروزى التاجر
أحمد بن على المقرىء, أحمد
بن يوسف النسفى, أبو
الحارث أسد بن حمدويه النسفى, الحسين
بن يوسف الفربرى, حماد
بن شاكر الوراق, داود
بن نصر بن سهيل البزدوى, الربيع
بن حيان الباهلى
عبد الله بن نصر بن
سهيل البزدوى, عبْد
بن محمد بن محمود النسفى, أبو
الحسن على بن عمر بن التقى بن كلثوم السمرقندى الوذارى, الفضل بن عمار الصرام, أبو
العباس محمد بن أحمد بن محبوب المحبوبى المروزى ,أبو جعفر محمد بن أحمد النسفى, أبو
جعفر محمد بن سفيان بن النضر النسفى ، المعروف بالأمين, أبو على محمد بن محمد بن يحيى
القراب الهروى, أبو
الفضل محمد بن محمود بن عنبر النسفى, محمد
بن مكى بن نوح النسفى, محمد
بن المنذر بن سعيد الهروى شكر, محمود
بن عنبر النسفى, أبو
الفضل المسبح بن أبى موسى الكاجرى, أبو
مطيع مكحول بن الفضل النسفى
مكى بن نوح النسفى
المقرىء, نصر
بن محمد بن سبرة الشيركثى, الهيثم
بن كليب الشاشى.
b.
Hibban bin Hilal
Beliau hidup di
Bashrah dan wafat tahun 216h. Beliau termasuk kalangan Tabiut Thabi’in biasa.
Gelar beliau adalah Abu Habib. Yahya bin Ma’in, An Nasai, At Tirmidzi menyebut
beliau Tsiqah. Ibnu Hajar menyebutnya Tsiqah Tsabat. Dan Adz Zahabi menyebutnya
Hafidz.
Murid-murid
beliau:
إبراهيم بن المستمر
العروقى ,أحمد
بن الحسن بن خراش ,أحمد
بن سعيد الرباطى ,أحمد
بن سعيد الدارمى ,أبو
الجوزاء أحمد بن عثمان النوفلى ,إسحاق
بن منصور الكوسج ,أبو
عاصم خشيش بن أصرم ,أبو
خيثمة زهير بن حرب ,أبو
بدر عباد بن الوليد الغبرى ,عبد
الله بن عبد الرحمن الدارمى ,عبد
بن حميد, أبو
قدامة عبيد الله بن سعيد السرخسى ,على
ابن المدينى, على
بن مسلم الطوسى ,عمرو
بن على الفلاس, أبو
غسان مالك بن عبد الواحد المسمعى ,محمد
بن بشار بندار, محمد
بن الحسين بن أبى الحنين الحنينى, محمد
بن سفيان بن أبى الزرد الأبلى ,أبو
موسى محمد بن المثنى
محمد بن معمر البحرانى
,يحيى
بن محمد بن السكن ,يحيى
بن موسى البلخى ,يعقوب
بن سفيان الفارسى, يعقوب
بن شيبة السدوسى .
Guru-guru
beliau:
أبان بن يزيد العطار ,بكير
بن أبى السميط ,جرير
بن حازم ,جويرية
بن أسماء ,حبان
بن يسار ,حبيب
بن أبى حبيب الجرمى ,حسان
بن إبراهيم الكرمانى, حماد
بن سلمة ,داود
بن أبى الفرات ,سعيد
بن زيد ,سلم
بن زرير, سليمان
بن كثير العبدى, سليمان
بن المغيرة ,سهيل
بن عبد الله القطعى ,شعبة
بن الحجاج عبد الله بن بكر بن عبد الله المزنى ,عبد ربه بن بارق الحنفى ,عبد
الوارث بن سعيد, عمارة
بن زاذان الصيدلانى, عمر
بن أبى خليفة العبدى, مبارك
بن فضالة ,معمر
بن راشد ,مهدى
بن ميمون ,هارون
بن موسى الأعور النحوى ,همام
بن يحيى ,أبى
عوانة الوضاح بن عبد الله ,وهيب
بن خالد.
c.
Suhail bin Mihran
Biografi
beliau sama dengan di atas.
d.
Abu ‘Imran
Biografi beliau sama dengan yang di atas.
e.
Jundub
Biografi beliau sama dengan yang di atas.
b. Analisa Kualitas Sanad
Berdasarkan data biografi para perawi yang telah dipaparkan pada
bagan diatas dapat disimpulkan:
1. Hadis dengan jalur riwayat Abu Daud dapat dinilai bersambung
dengan beberapa sebab yakni: a. Dari segi umur, antara satu perawi dengan
perawi lainnya terdapat jarak usia yang memungkinkan mereka untuk bertemu,
terkecuali Abdullah bin Muhammad yang umur beliau tidak terlacak penulis. Jarak terpanjang adalah antara perawi Jundub
dengan ‘Abdul Malik adalah 64tahun sedang perawi lainnya lebih pendek jarak
waktunya. b. Dari segi hubungan antara guru dan murid nampak semua perawi
adalah guru dan murid bagi perawi lainnya. c. Beberapa perawi berdomisili di Bashrah yang
memungkinkan mereka semua bertemu. Terkecuali Abdullah bin Muhammad yang
tinggal di Thabariyah.
2. Dari segi ke’adalahan dan kedhabitan, dapat
dinyatakan bahwa jalur riwayat Abu Daud adalah ‘adil dan dhabit.
Hal ini didasarkan dari penilaian seluruh kritikus yang menyatakan seluruh
perawi dengan pernyataan positif (ta’dil) sehingga sanadnya kuat. Meski Abdullah
bin Muhammad dinilai sebagai perawi syaikh sholeh namun, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ibn Hajar, ia berstatus tsiqah. Namun demikian, Abu Daud
menilai hadis tersebut dengan penilaian Dhoif.
3. Hadis jalur At Tirmizi dapat dinyatakan bersambung karena: a.
Jarak antara satu perawi dengan perawi lainnya memungkin mereka untuk bertemu.
b. Masing-masing perawi berstatus sebagai guru dan murid untuk perawi lainnya
sehingga terjadi interaksi dan keterhubungan. c. Beberapa perawi merupakan
penduduk Bashrah dan Kufah yang mana berdekatan sehingga memungkinkan untuk
bertemu.
4. Dari segi ke’adalahan dan kedhabitan
masing-masing perawi, bebrapa perawinya adalah ‘adil dan dhabit. Kecuali
Suhail yang dinilaiIbnu Hajar sebagai Dhoif.
2. Kritik Matan.
Sebagaimana
dijelaskan terdahulu, kaedah kesahihan matan hadis terdiri dari dua hal yakni
terbebas dari syadz dan ‘illah hadis. Syadz menurut
pengertian ulama hadis adalah hadis yang diriwayatkan perawi maqbul
bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat. Sedang ‘illah adalah hadis
yang lahirnya tampak selamat dari kecacatan namun setelah diteliti akan nampak
cacatnya baik karena memaushulkan yang mursal, memarfu’kan yang mauquf
atau memasukkan hadis pada hadis lainnya dan lainnya.[8]
Menurut Syuhudi, ada tiga langkah yang
harus dilakukan dalam penelitian matan yakni; 1. Meneliti matan dengan melihat
kualitas sanadnya, 2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna, 3.
Meneliti kandungan matan.[9]
Meneliti susunan lafal berkaitan dengan unsur ke’illahan hadis sedang meneliti
kandungan matan berkenaan dengan kesyadzan hadis
Berdasarkan
langkah metodologis dalam penelitian matan tersebut, Arifuddin Ahmad kemudian
merincinya dengan memasukkan kaedah minor dalam syadz dan ‘illah
pada matan hadis. Unsur kaedah minor syadz, menurutnya, adalah adalah 1.
Sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri; 2. Matan hadis bersangkutan tidak
bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; 3 Matan hadis
bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan 4. Matan hadis bersangkutan
tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[10]
Di sisi lain, al-Adhlaby menyebutkan bahwa suatu matan hadis dapat diterima
kehujjahannya apabila: (1) Tidak bertentangan dengan Alquran; (2) tidak
bertentangan dengan hadis lainnya yang lebih kuat; (3) tidak bertentangan
dengan indera, akal sehat dan fakta sejarah; dan (4) matan hadis menunjukkan
ciri-ciri sabda kenabian.[11]
Sedang
kaidah minor matan hadis yang mengandung ‘illah adalah 1. Matan hadis
bersangkutan tidak mengandung idraj[12]
(sisipan); 2. Matan hadis bersangkutan tidak mengandung ziyadah[13]
(tambahan); 3. Tidak terjadi maqlub[14]
(pergantian lafal atau kalimat) bagi matan hadis bersangkutan; 4. Tidak terjadi
idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) bagi matan hadis
bersangkutan; dan 5. Tidak terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna yang
jauh dari matan hadis bersangkutan. Jika ‘illah hadis itu mengandung
pertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat, maka matan hadis tersebut
sekaligus mengandung syudzudz.[15]
Untuk
meneliti kesahehan matan, penulis menggunakan kaedah metodologis yang
dikemukakan Syuhudi Ismail di atas.
1.
Meneliti kualitas sanad
Sebagaimana
dijelaskan di atas, kedua jalur sanad hadis yang diteliti yakni Abu Daud dan At
Tirmizi berkualitas shahih.
2.
Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
Berdasarkan
hadis yang disebutkan di atas, terdapat 2 hadis dari 2 kitab hadis dengan
berbagai variannya. Pada riwayat Abu Daud terdapat 1 hadis, Tirmizi 1 hadis. Di
sini penulis berusaha membandingkan dua matan hadis yang tengah dikaji pada
penelitian sanad hadis yakni riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Muhammad dan
riwayat At Turmuzi dari Hibban bin Hilal.
Varian
II
|
Varian
I
|
المخرج
|
1فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ 2فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
|
1مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ
بِرَأْيِهِ
2مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ
|
الترميذى1
2 ابو داود
|
Ada
beberapa hal yang perlu ditegaskan:
a.
Seluruh hadis tersebut adalah hadis qauliyah yakni perbuatan Nabi yang
direkam oleh sahabat Jundub atau lebih dikenal Abu Dzar Al Gifari.
b.
Hadis tersebut diceritakan Abu Dzar Al Gifari kepada muridnya dalam satu versi
yang sama namun kemudian diriwayatkan oleh perawi yang berada di bawahnya
dengan berbagai versi. Berdasarkan kajian terhadap matan hadis, ada dua versi
hadis yang berbeda dimana masing-masing memiliki ciri tertentu. Hadis dari At
Turmuzi disebutkan bahwa Abu ‘Isa Mengatakan bahwa hadits ini Gharib.
c.
Tidak ada pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya.
Berdasarkan
matan di atas, dua versi periwayatan hadis di atas tidak terdapat pertentangan
antara satu dengan lainnya. Adapun unsur ‘illah dalam hadis tersebut seperti
ziyadah, idraj, maqlub dan idhthirab tidak ditemukan pada dua jalur periwayatan
yang tengah diteliti yakni jalur Abu Daud dari Abdullah bin Muhammad dan Tirmizi
dari Hibban bin Hilal.
3.
Meneliti kandungan matan
Sebagaimana
dijelaskan Arifuddin Ahmad, meneliti kandungan matan berarti meneliti
kemungkinan ada atau tidaknya syadz dalam hadis tersebut. Adapun unsur-unsur
kaedah minor syadz adalah pertentangannya muatannya dengan kandungan hadis yang
lebih kuat, al-Quran atau akal dan fakta sejarah. Hadis di atas berbicara tentang
peringatan Nabi kepada umatnya dalam menafsirkan Al-Quran. Nabi tidak tidak
menganjurkan kita untuk menafsirkan Al-Quran dengan Ra’yu kita.
Imam
Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits tersebut memiliki dua penafsiran:
Pertama
: Barang siapa yang berpendapat dalam
persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab
sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua
: Barang siapa yang mengatakan
tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah
pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri di neraka.[16]
Tidaklah
yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata
hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa
berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam
sebuah hadis diriwayatkan :
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال
فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار
( رواه التر مذ )
Artinya
:
“Barang
siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka
hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu
Abbas )
Dengan
demikian, hadis yang berbicara tentang menafsirkan Al-Quran dengan Ra’yi tidak
bertentangan dengan hadis lainnya sebagaimana dijelaskan di atas.
Para
ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu
yang terbagi dalam dua pendapat :
Pertama :Tidak
diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus
bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Kedua :Pendapatkan
yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan syarat harus memenuhi
persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari kebanyakan ulama
(jumhur ulama).
Menurut al-Zarkasyi, ada beberapa
syarat untuk dapat diterimanya tafsir bi al-ra’yi, diantaranya adalah:
a) Bersandar pada apa yang berasal dari
Rasulullah SAW, dengan berusaha menghindarkan diri dari hadits-hadits dhoif dan
maudhu’
b) Berpegang pada keterangan sahabat,
terutama yang bernilai marfu’ seperti menggunakan asbab al-nuzul sebagai
penjelas dan lain sebagainya.
c) Bersandar pada kaidah-kaidah ilmu
bahasa, dengan menjaga diri dari pembelokan terhadap ayat-ayat al-Quran kepada
makna-makna yang berlawanan dengan kehendak atau ruh syara’, kecuali makna yang
sudah biasa dan umum digunakan oleh bangsa arab sendiri.
Bersandar
pada apa yang dikehendaki oleh alur pembicaraan, dan benar-benar ditunjukan
oleh aturan syara’. Macam yang keempat ini tergolong jenis ta’wil.[17]
Hadits
ini sendiri setelah diteliti ternyata bertentangan dengan Al-Quran yang
berbunyi:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [٢:١٦٩]
Artinya
:
Sesungguhnya
syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqoroh : 169)
III.
KESIMPULAN
Dalam
kutub tis’ah, terdapat dua hadis yang berbicara tentang menafsirkan Al-Quran
dengan Ra’yi. Hadis tersebut tersebar dalam dua kitab hadis yakni Sunan Abu
Daud satu hadits, Tirmizi memuat satu
hadis.
Berdasarkan
hasil penelitian mengenai kualitas sanad dan matannya, penulis berkesimpulan
bahwa hadis yang diteliti yakni hadis riwayat Abu Daud dari Abdullah bin
Muhammad dan hadis riwayat Turmuzi dari Hibban bin Hilal adalah hadits Dhoif.
Dalam penelitian sanad ditemukan bahwa dua jalur periwayatan hadis tersebut
seluruh rangkaiannya bersambung, perawinya adalah perawi yang tsiqah (adil dan
dhabit). Sementara dalam penelitian matan ditemukan argument bahwa matan hadis
tersebut adalah hadis qauliyah yang diriwayatkan secara beragam oleh
murid perawi dibawahnya, meskipun, menurut penulis, semula diriwayatkan dalam
satu versi oleh Jundub. Dua jalur periwayatan yang diteliti tidak ditemukan
unsur ‘illah berupa ziyadah, idraj, taqlib maupun idhthirab.
Sedang pada unsur syadz, ditemukan pertentangan hadis tersebut dengan
al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa hadis di atas adalah
shahih sanadnya sedangkan matannya dhoif.
DAFTAR
PUSTAKA
A.J.
Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi, Leiden
E.J. Bril, 1943, juz. IV
Abu
Muhammad Abd al-Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi
wa Sallam, ttp, Dar al-‘Itisham, tth
Arief
Halim, Metodologi Tahqiq Hadis Secara Mudah dan Munasabah, Malaysia,
Univ. Sains Malaysia, 2007
Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Jakarta, MSCC, 2005
Jamal
al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahzhib al-Kamal fi Asma al-Rijal,
Beirut, Muassasah al-Risalah, 1992, Juz. 32
al-Khatib
al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah, Mesir, al-Mathba’ah
al-Sa’adah, 1972
M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, Bulan
Bintang, 1992, Cet. I
Nuruddin
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut, Dar al-Fikr, 1988
Shalahuddin
Ahmad al-Adhibiy, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda’ Ulami al-Hadis al-Nabawiy,
Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study
Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin Bandung, Pustaka Setia, 1998 , 258
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman: Penerbit
Teras, 2010
[1]Arief
Halim, Metodologi Tahqiq Hadis Secara Mudah dan Munasabah, (Malaysia:
Univ. Sains Malaysia, 2007), 41.
[2]Abu
Muhammad Abd al-Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi
wa Sallam, (ttp: Dar al-‘Itisham, tth), h. 10.
[3]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), Cet. I, h. 44.
[4].
Ibid, h. 24. M. Syuhudi Ismail kemudian meringkaskan metode takhrij
tersebut melalui dua cara yakni takhrij bi alfazh dan takhrij bi
al-maudhu’. Llihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 46.
[5].
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis …, h. 367.
[6].
Ibid, h. 170.
[7].
Menurut Shubhi Shalih, hadist shahih adalah hadis musnad yang bersambung
sanadnya dengan perawi yang adil lagi dhabit dari perawi yang adil
lagi dhabit pula. Semua perawi tersebut sampai kepada Nabi atau sahabat
atau tabi’in dan tidak terdapat syadz serta illah. Lihat, Shubhi
Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ulum li
al-Malayin, 1988), h. 145.
[8]Muhammad
Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis,
(Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, 1971), h. 130
[9]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
…, h. 121
[10]Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, (Jakarta: MSCC, 2005), h. 108.
[11]Shalahuddin
Ahmad al-Adhlaby, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda’ Ulami al-Hadis al-Nabawiy,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.), h. 238; Bandingkan dengan pendapat
al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah, (Mesir: al-Mathba’ah al-Sa’adah, 1972), h.
206-207.
[12]Idraj
adalah tambahan yang diberikan oleh
salah seorang rawi baik oleh generasi sahabat maupun sesudahnya, yang tambahan
tersebut bersambung dengan matan hadis asli yang berasal dari Rasulullah.
Penambahan tersebut dapat terjadi pada permulaan, pertengahan maupun akhir dari
suatu matan dan biasanya merupakan penafsiran atau keterangan-keterangan
kandungan hukum untuk kata-kata atau pernyataan dari bagian matan tertentu yang
dikemukakan oleh rawi tertentu. Lihat, Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 440.
[13]Secara
bahasa, kata ziyadah berarti tambahan. Menurut istilah ilmu hadis, ziyadah
pada matan adalah tambahan lafazh atau kalimat
yang terdapat pada matan yang ditambahkan oleh rawi tertentu, sementara
rawi lain tidak mengemukakannya. Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulm
al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul ‘Ulum al-Hadis 2,
(Cet. II; Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 230.
[14]Hadis
disebut maqlub maksudnya hadis yang terjadi pemutarbalikan pada redaksi
hadis, yang dilakukan oleh seorang rawi baik disengaja maupun tidak. Indikasi
adanya pemutarbalikan itu terlihat pada: 1) seorang rawi mendahulukan suatu
matan hadis yang seharusnya diletakkan pada akhir matan atau sebaliknya; 2)
seorang rawi menjadikan suatu matan hadis (yang sudah jelas sanadnya)
ditempatkan pada sanad yang lain. Mahmud Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadis,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 108.
[15]Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru …, h. 109
[16]
Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin
(Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
[17]
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman:
Penerbit Teras, 2010) h.351
ARTIKEL TERKAIT:
1 Ninggal jejak
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis, (Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, 1971), h. 130 Tinder क्या है? Also Checkout My BlogNowMing
Post a Comment
Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D
NB: No Porn, No Sara', No women, No cry