Ikuti @fauzinesia

Tafsir Dengan Ra'yu

Enonk 1 1/01/2017


HADITS TENTANG MENAFSIRKAN ALQURAN DENGAN RA’YU
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setelah berakhirnya masa salaf sekitar abad ke-3 H, peradaban islam semakin maju dan berkembang, lahirlah berbagai madzhab dan aliran  dikalangan umat. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi, kemudian mereka menafsiri sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika itu berkembang bentuk Tafsir bi al-Ra’yi. Melihat perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi yang sangat pesat, Manna’ al-Qaththan mengatakan bahwa perkembangan Tafsir bi al-Ra’yi mengalahkan perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur.

Meskipun Tafsir bi al-Ra’yi berkembang dengan pesat, namun tanggapan ulama terbagi menjadi 2 macam, yaitu ada yang melarang dan adapula yang melarang. Tetapi setelah diteliti, perbedaan tersebut hanya bersifat lafdzi (redaksi). Kedua pendapat tersebut sama-sama mencela penafsiran yang hanya berdasarkan pada ra’yi (pemikiran) semata tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan as-Sunnah.
Dalam makalah ini penulis berusaha meneliti kualitas sanad dan matan hadis Nabi berkenaan dengan tafsir bi Ra’yi.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa persoalan berikut?
1.   Dalam kitab-kitab mana saja terdapat hadis-hadis yang memuat tentang tafsir bi Ra’yi?
2.   Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang hadis tafsir bi Ra’yi?



II. PEMBAHASAN

A. TAKHRIJ HADIS

Secara leksikal takhrij berarti keluar, nampak, jelas. Dalam hal ini, makna takhrij yang populer digunakan ulama ialah al-istinbath (hal mengeluarkan), al-tadrib (hal melatih), dan al-taujih (hal menghadapkan atau menjelaskan).[1]
Adapun takhrij menurut terminologi ulama hadis adalah: 1. Menyebutkan hadis beserta sanadnya, mendiskusikan keadaan sanad dan matannya seperti yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmizi dan Sunan Abu Dawud. 2. Menyebutkan jalur sanad lainnya untuk memperkuat sanad hadis yang terdapat dalam suatu kitab. 3. Mengembalikan hadis kepada kitab-kitab asalnya dengan menjelaskan kualitasnya.[2] 
Yang penulis maksud dengan takhrij hadis disini adalah mengeluarkan hadis dari sumber aslinya dengan mencantumkan sanad dan matannya kemudian menjelaskan kualitas hadis tersebut.
Syuhudi Ismail menyebutkan sedikitnya tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij dalam penelitian hadis yaitu:
1.      Untuk mengetahui asal-usul hadis yang akan diteliti
2.      Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti
3.      Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti.[3]
Ada 5 (lima) metode yang ditawarkan ulama hadis dalam proses pelaksanaan takhrij yakni berdasarkan kitab-kitab kumpulan hadis, lafal-lafal hadis, rawi pertama, tematik dan ciri-ciri tertentu.[4] Dalam pelaksanaan takhrij kali ini penulis menggunakan metode takhrij melalui lafal-lafal hadis (takhrij bi al-fazh) dengan menggunakan kitab Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi, CD Program Mausu’ah Hadis Syarif Kutub Tis’ah dan sebagian data diambil dari CD Maktabah Syamilah.
Adapun potongan hadis yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah:
مَنْ قَالَ فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزّ
Berdasarkan potongan hadis di atas maka penulis menelusuri dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi, CD Program Mausu’ah Hadis Syarif Kutub Tis’ah dan sebagian data dari CD Maktabah Syamilah dengan menggunakan dua lafal kata kunci yakni kata:"كِتَابِ’. Kata ‘كِتَاب ‘ digunakan karena menurut penulis merupakan kata yang sangat asing didengar dan jarang dimuat dalam hadis Nabi sehingga memudahkan pelacakan hadis dari sumber asalnya. Berdasarkan  kata tersebut ditemukan kelengkapan potongan hadis di atas pada beberapa kitab hadis, yakni:

NO
Mu’jam Mufahras

NO
CD Maktabah Syamilah
1.


2.
Abu Daud, 531.


Turmuzi,
1.


2.

Abu Daud, Bab Ilmu, Sunan Abi Daud Juz 10, no. 3167.
Turmuzi, Sunan Turmuzi, ,  juz 10, h. 208.



Berdasarkan informasi dari يعش sumber di atas, ditemukan kelengkapan matan hadis yang tengah diteliti. Berikut adalah bunyi teks hadis secara lengkap:

1. Sunan Abi Daud, kitab Al-Kalam fi Kitabillah Bi Gairi Ilmin, no. 3167.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
2. Sunan Turmuzi, kitab Maa Jaa A Fi Allazi Yufassiru Al-Quran Bi Ra’yihi, no. 2876.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَزْمٍ أَخُو حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ
الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ


B. I’TIBAR HADIS
Setelah dilakukan takhrij hadis dengan menggunakan tiga sumber pelacakan hadis maka langkah berikutnya adalah melakukan i’tibar yakni meneliti semua jalur hadis yang memiliki teks yang sama (bi al-lafzi) maupun maknanya serupa (bi al-ma’na) untuk melihat ada tidaknya pendukung (corraboration) berupa periwayat yang berstatus syahid (pendukung pada tingkat sahabat) atau mutabi’ (pendukung bukan dari sahabat) atau hadis tersebut menyendiri (fard).[5]
Dengan ditemukannya jalur periwayat lain baik yang berstatus sebagai syahid maupun mutabi’ akan semakin menguatkan kedudukan hadis tersebut. Apabila jalur periwayat yang semula berstatus dhaif, misalnya, maka derajatnya dapat naik menjadi hasan li ghairihi atau apabila jalur sanadnya yang semula berstatus hasan, dengan adanya syahid atau mutabi’ maka hadis tersebut dapat naik statusnya menjadi hadis shahih li ghairihi.[6] Karenanya, i’tibar mesti dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi periwayatan hadis.
Dalam hal ini, untuk lebih merepresentasikan hadis Nabi berkenaan dengan tata cara dan kebiasaan makan beliau maka semua jalur sanad hadis dijadikan bahan i’tibar. Berikut adalah skema i’tibar yang dimaksud.

 مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأ


 


 w.652 mجُنْدُبٍ
أبُو عِمْرَانَ اسمه سليمان
175 هـ سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ
Text Box: حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ  211 ه يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ
Text Box: الترمذىعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ
                                      ابو داود
Berdasarkan skema jalur sanad hadis di atas dapat disimpulkan:
1.      Setelah memperhatikan seluruh rangkaian sanad hadis pada i’tibar di atas, diketahui bahwa tidak ditemukan jalur periwayatan yang berkedudukan sebagai syahid sebab pada perawi sahabat hanya ditemukan seorang perawi pada semua jalur sanad yakni   Jundub atau Abu Dzar Al Gifari.
2.      Terdapat mutabi’ ditingkat tabi’in kecil yakni Ya’qub bin Ishaq dan Hubban bin Hilal.
Adapun lambang yang digunakan dalam seluruh jalur periwayatan adalah عن, حدثنا, .

C. KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
Dalam penelitian ini, jalur hadis yang akan diteliti adalah jalur riwayat Abu Daud dari Abd Allah bin Muhammad.
Jalur periwayatan Abu Daud berbunyi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Artinya: Menceritakan kepada kami Abd Allah bin Muhammad bin Yahya.’ Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ishhaq al-Muqri’u al-Hadramiyu telah menceritakan kepada kami Suhail bin Mihran saudara Hazam al-Qutha’i telah menceritakan kepada kami Abu ‘Imran dari Jundub, iya berkata “Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa berbicara dalam kitab Allah menggunakan pendapatnya,meskipun benar maka iya telah salah.

1. Kritik Sanad
Dalam kaedah kesahihan hadis dinyatakan bahwa syarat hadis yang dinilai shahih apabila memenuhi lima kriteria[7] yakni:
  1. Apabila sanad hadis tersebut bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi.
  2. Seluruh perawi pada jalur sanad tersebut bersifat adil
  3. Seluruh perawi bersifat dhabit
  4. Tidak terdapat syadz
  5. Tidak terdapat ‘illah
Dengan kriteria diatas dapat dinilai tingkat kualitas suatu hadis. Apabila suatu hadis memenuhi semua kriteria tersebut maka ia dinilai shahih namun bila salah satu kriteria tidak terpenuhi maka akan dinilai dhaif. Tiga kriteria pertama berkenaan secara dengan kritik sanad sedang dua kriteria terakhir berkaitan dengan sanad dan matan. Untuk mengetahui kualitas persambungan sanad dan ke’adilan serta kedhabitan para perawinya dilakukan penelitian tentang biografi perawi. Adapun jalur periwayatan sanad yang hendak penulis teliti dalam penelitian ini adalah dua jalur yakni riwayat Abu Daud dan At Tirmizi. Adapun perawi dari jalur riwayat Abu Daud adalah sebagai berikut: 1. Jundub (perawi I); 2. Abu ‘Imran (perawi II); 3. Suhail bin Mihran (perawi III); 4. Ya’qub bin Ishaq (perawi IV); 5. Abdullah bin Muhammad (perawi V); 6. Abu Daud (mukharrij). Sedang perawi dari jalur riwayat At Tirmizi adalah sebagai berikut: 1. Jundub (perawi I) 2. Abu ‘Imran (perawi II); 3. Suhail bin Mihran (perawi III); 4. Hubban bin Hilal (perawi IV); 5. At Turmuzi  (mukharrij). Berikut  akan dipaparkan mengenai biografi perawi hadis yang menjadi fokus penelitian.
a.       Biografi para Perawi Hadis
Dalam menilai kualitas ketersambungan sanad hadis mulai dari perawi awal sampai pada mukharrij hadis, ulama mengandalkan kitab-kitab biografi perawi hadis. Ketersambungan sanad dapat ditentukan melalui tahun lahir dan wafat seorang perawi, tempat tinggalnya, perjalanannya dalam menuntut ilmu dan yang penting juga adalah hubungan guru dan murid antar perawi hadis. Sedang keadilan dan kedhabitan perawi didapat dari informasi penulis kitab biografi perawi tentang sifat, sikap dan kemampuan daya ingatnya selama meriwayatkan hadis.
Untuk kesempurnaan biodata para perawi hadis, penulis berusaha menggabungkan data biografi perawi dari kitab-kitab rijal hadis dengan informasi  yang diambil dari CD Program Mu’jam Mufahras dan Maktabah Syamilah.
Berikut adalah biografi semua perawi hadis yang tengah diteliti:
Jalur Riwayat Abu Daud
a.      Imam Abu Dawud
Abu Daud (817 / 202 H – meninggal di Basrah888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, dia bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Ia mempunyai banyak guru di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya.Diantara guru-gurunya adalah Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Mahmud bin Khalid bin Abi Khalid Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.
Diantara murid-muridnya adalah, Imam Turmudzi , Imam Nasa'i , Abu Ubaid Al Ajury , Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari dia) dll.
Penilaian kritikus hadis terhadap dirinya. Adz Dzahabi menuturkan:Abu Daud dengan keimamannya dalam hadits dan ilmu-ilmu yang lainnya,termasuk dari ahli fiqih yang besar,maka kitabnya As Sunan telah jelas menunjukkan hal tersebut. Sedangkan  Ad dzahabi mengatakan tsiqah hafidzh’
b. ‘Abd Allah bin Muhammad bin Yahya
Gelar beliau adalah Abu Muhammad. Beliau termasuk kalangan Thabiul Atba’ dikalangan tua. Beliau hidup dinegeri Thabariyah. Abu Hatim berpendapat bahwa beliau Shaduuq, dan An Nasa’i berpendapat beliau syaikh Sholeh. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau ini tsiqah.
Beberapa murid beliau:
أبو داودو, أحمد بن سيار المروزى, أبو بكر عبد الله بن أبى داود السجستانى, عبد الله بن محمد بن نصر, عبيد الله بن أحمد بن الصنام, محمد بن سفيان, موسى بن سهل,يحيى بن عبد الباقى الأذنى
Beberapa guru-guru beliau:
أسد بن موسى المصرى, محمد بن يوسف الفريابى, مؤمل بن إسماعيل, الوليد بن محمد الموقرى
الوليد بن مسلم
c. Ya’qub bin Ishaq
Gelar beliau yaitu Abu Muhammad. Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid. Beliau hidup di Bashrah. Ia wafat tahun 205 H. Ulama seperti Ahmad binHambal, Abu Hatim, Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau ini Shaduuq. Sedangnkan Adz Zahabi berpendapat bahwa beliau ini Tsiqah. Beliau termasuk tabiut thabi’in kalangan biasa.
Murid-murid beliau:
أحمد بن ثابت الجحدرى ,أحمد بن نصر النيسابورى, إسحاق بن إبراهيم شاذان الفارسى, الحسن بن الصباح البزار, الحسين بن سلمة بن أبى كبشة, الحسين بن عبد المؤمن, الحسين بن على بن يزيد الصدائى ,رزق الله بن موسى الكلوذانى ,سهل بن صالح الأنطاكى, عبد الله بن محمد يحيى الطرسوسى المعروف بالضعيف ,عبد الأعلى بن حماد النرسى, عبد الرحمن بن عبد الوهاب العمى ,عبد الرحمن بن محمد بن سلام الطرسوسى , أبو قدامة عبيد الله بن سعيد السرخسى, عثمان بن طالوت بن عباد, عقبة بن مكرم العمى ,على بن سلمة اللبقى, عمرو بن على الفلاس, عمرو بن محمد الناقد, الفضل بن سهل الأعرج, محمد بن إبراهيم بن صدران, أبو بكر محمد بن رزق الله, محمد بن معمر البحرانى , محمد بن يونس الكديمى, يحيى بن حكيم المقوم ,أبو حاتم السجستانى النحوى أبو الربيع الزهرانى, أبو العباس القلورى ,أبو قلابة الرقاشى .
Guru-guru beliau:
الأسود بن شيبان ,بشار بن أيوب الناقط, حماد بن سلمة , ذيال بن عبيد المالكى, ربيعة بن كلثوم, زائدة بن قدامة , زكريا بن سليم, زيد بن عبد الله بن أبى إسحاق الحضرمى , سعيد بن خالد الخزاعى, سلم بن زرير, سليم بن حيان الهذلى ,سليمان بن معاذ الضبى ,سهيل بن مهران القطيعى ,سوادة بن أبى الأسود, سلام أبى المنذر القارىء, شعبة بن الحجاج عامر بن صالح بن رستم ,عبد الرحمن بن إبراهيم القاص, عبد الرحمن بن ميمون مولى ابن سمرة , عبد السلام بن عجلان, عمر بن حفص المدنى, محمد بن الخطاب بن جبير بن حية الثقفى, مرجى بن رجاء البصرى, أبى جزء نصر بن طريف, النضر بن معبد الجرمى, هارون بن موسى النحوى, همام بن يحيى, أبى عوانة الوضاح بن عبد الله, يزيد بن إبراهيم التسترى, أبى عقيل الدورقى.

 
d. Suhail bin Mihran
gelar beliau adalah Abu Bakar. Beliau hidup di Bashrah. Yahya bin Ma’in berpendapat bahwa beliau ini Shaleh. Sedangkan Abu Hatim dan An Nasa’i menyebutkan bahwa beliau ini laisa bi qowi. Dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat bahwa beliau ini Dhoif. Beliau termasuk tabiut tabi’in kalangan tua.
Murid-murid beliau:
أبو إسحاق إسماعيل بن سيف البصرى, عبيد الله بن عمر القواريرى
 Guru-guru beliau:
عثمان بن سعد الكاتب, عمر بن عامر البصرى , يحيى بن أبى إسحاق الحضرمى, يونس بن عُبيد .
e. Abu Imran
Nama lengkapnya Abu Malik bin Habib. Beliau hidup di Bashrah dan wafat tahun 128 h. Yahya bin Ma’in, Ibnu Saad, Adz Zahabi berpendapat bahwa beliau ini tsiqoh. Abu Hatim menyebutnya Shalih, sedangkan An Nasa’i menyebutnya laisa bihi ba’s. Beliau termasuk thabiin kalangan biasa.
Murid-muridnya:
أبان بن يزيد العطار ,جعفر بن سليمان الضبعى ,أبو قدامة الحارث بن عبيد الإيادى ,الحجاج بن فرافصة ,حماد بن زيد ,حماد بن سلمة ,حماد بن نجيح السدوسى ,زياد بن الربيع اليحمدى ,سليمان التيمى ,سهيل بن أبى حزم ,سلام بن أبى مطيع ,شعبة بن الحجاج ,صالح بن بشير المرى
أبو عامر صالح بن رستم الخزاز ,صدقة بن موسى الدقيقى ,عبد الله بن عون ,عبد العزيز بن عبد الصمد العمى ,عوبد بن أبى عمران الجونى ,مرحوم بن عبد العزيز العطار ,أبو جزء نصر بن طريف
هارون بن موسى النحوى ,همام بن يحيى

Guru-guru beliau:
أسير بن جابر, أنس بن مالك ,جندب بن عبد الله البجلى ,أبى فراس ربيعة بن كعب الأسلمى
زهير بن عبد الله البصرى ,طلحة بن عبد الله بن عثمان بن عبيد الله بن معمر التيمى ,عائذ بن عمرو المزنى
عبد الله بن رباح الأنصارى ,عبد الله بن الصامت ,علقمة بن عبد الله المزنى ,قيس بن زيد ، قاضى المصرين, المشعث بن طريف ,يزيد بن بابنوس ,أبى أيوب الأزدى المراغى, أبى بكر بن أبى موسى الأشعرى ,أبى عسيم .

f. Jundub
Nama lengkapnya adalah Jundub bin Abdullah bin Sufyan. Beliau hidup di Kufah dan wafat tahun 64 h. Beliau termasuk shahabat.
Murid-murid beliau:
الأسود بن قيس ,أنس بن سيرين ,الحسن البصرى ,سلمة بن كهيل ,شهر بن حوشب
صفوان بن محرز ,أبو تميمة طريف بن مجالد الهجيمى ,عبد الله بن الحارث النجرانى ,أبو عمران عبد الملك بن حبيب الجونى ,عبد الملك بن عمير ,محمد بن سيرين ,أبو بشر الوليد بن مسلم العنبرى
أبو مجلز لاحق بن حميد ,أبو السوار العدوى ,أبو عبد الله الجشمى ,و غيرهم من أهل الكوفة و أهل البصرة .
Guru-guru beliau:
النبى صلى الله عليه وسلم ,حذيفة بن اليمان .
Jalur periwayatan imam At Turmuzi
a.      Imam At Turmudzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi (atau ringkasnya Imam Tirmidzi/At-Tirmidzi, ejaan alternatif At-Turmudzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at-Tirmidzi dan Al-Ilal. Ia mengatakan bahwa ia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama-ulama Hijaz, Irak, dan Khurasan, dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ yang merupakan salah satu dari Kutubus Sittah (enam kitab pokok bidang hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Beliau meninggal tahun 279h.
Al-Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At-Tirmidzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa at-Tirmidzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Al-Khalili menyebut beliau ini tsiqoh.
Murid-murid beliau:
أبو بكر أحمد بن إسماعيل بن عامر السمرقندى, أبو حامد أحمد بن عبد الله بن داود المروزى التاجر
أحمد بن على المقرىء, أحمد بن يوسف النسفى, أبو الحارث أسد بن حمدويه النسفى, الحسين بن يوسف الفربرى, حماد بن شاكر الوراق, داود بن نصر بن سهيل البزدوى, الربيع بن حيان الباهلى
عبد الله بن نصر بن سهيل البزدوى, عبْد بن محمد بن محمود النسفى, أبو الحسن على بن عمر بن التقى بن كلثوم السمرقندى الوذارى, الفضل بن عمار الصرام, أبو العباس محمد بن أحمد بن محبوب المحبوبى المروزى ,أبو جعفر محمد بن أحمد النسفى, أبو جعفر محمد بن سفيان بن النضر النسفى ، المعروف بالأمين, أبو على محمد بن محمد بن يحيى القراب الهروى, أبو الفضل محمد بن محمود بن عنبر النسفى, محمد بن مكى بن نوح النسفى, محمد بن المنذر بن سعيد الهروى شكر, محمود بن عنبر النسفى, أبو الفضل المسبح بن أبى موسى الكاجرى, أبو مطيع مكحول بن الفضل النسفى
مكى بن نوح النسفى المقرىء, نصر بن محمد بن سبرة الشيركثى, الهيثم بن كليب الشاشى.


b.      Hibban bin Hilal
Beliau hidup di Bashrah dan wafat tahun 216h. Beliau termasuk kalangan Tabiut Thabi’in biasa. Gelar beliau adalah Abu Habib. Yahya bin Ma’in, An Nasai, At Tirmidzi menyebut beliau Tsiqah. Ibnu Hajar menyebutnya Tsiqah Tsabat. Dan Adz Zahabi menyebutnya Hafidz.

Murid-murid beliau:
إبراهيم بن المستمر العروقى ,أحمد بن الحسن بن خراش ,أحمد بن سعيد الرباطى ,أحمد بن سعيد الدارمى ,أبو الجوزاء أحمد بن عثمان النوفلى ,إسحاق بن منصور الكوسج ,أبو عاصم خشيش بن أصرم ,أبو خيثمة زهير بن حرب ,أبو بدر عباد بن الوليد الغبرى ,عبد الله بن عبد الرحمن الدارمى ,عبد بن حميد, أبو قدامة عبيد الله بن سعيد السرخسى ,على ابن المدينى, على بن مسلم الطوسى ,عمرو بن على الفلاس, أبو غسان مالك بن عبد الواحد المسمعى ,محمد بن بشار بندار, محمد بن الحسين بن أبى الحنين الحنينى, محمد بن سفيان بن أبى الزرد الأبلى ,أبو موسى محمد بن المثنى
محمد بن معمر البحرانى ,يحيى بن محمد بن السكن ,يحيى بن موسى البلخى ,يعقوب بن سفيان الفارسى, يعقوب بن شيبة السدوسى .
Guru-guru beliau:
أبان بن يزيد العطار ,بكير بن أبى السميط ,جرير بن حازم ,جويرية بن أسماء ,حبان بن يسار ,حبيب بن أبى حبيب الجرمى ,حسان بن إبراهيم الكرمانى, حماد بن سلمة ,داود بن أبى الفرات ,سعيد بن زيد ,سلم بن زرير, سليمان بن كثير العبدى, سليمان بن المغيرة ,سهيل بن عبد الله القطعى ,شعبة بن الحجاج عبد الله بن بكر بن عبد الله المزنى ,عبد ربه بن بارق الحنفى ,عبد الوارث بن سعيد, عمارة بن زاذان الصيدلانى, عمر بن أبى خليفة العبدى, مبارك بن فضالة ,معمر بن راشد ,مهدى بن ميمون ,هارون بن موسى الأعور النحوى ,همام بن يحيى ,أبى عوانة الوضاح بن عبد الله ,وهيب بن خالد.
c.       Suhail bin Mihran
Biografi beliau sama dengan di atas.
d.      Abu ‘Imran
Biografi beliau sama dengan yang di atas.
e.       Jundub
Biografi beliau sama dengan yang di atas.

b.  Analisa Kualitas Sanad
Berdasarkan data biografi para perawi yang telah dipaparkan pada bagan diatas dapat disimpulkan:
1. Hadis dengan jalur riwayat Abu Daud dapat dinilai bersambung dengan beberapa sebab yakni: a. Dari segi umur, antara satu perawi dengan perawi lainnya terdapat jarak usia yang memungkinkan mereka untuk bertemu, terkecuali Abdullah bin Muhammad yang umur beliau tidak terlacak penulis.  Jarak terpanjang adalah antara perawi Jundub dengan ‘Abdul Malik adalah 64tahun sedang perawi lainnya lebih pendek jarak waktunya. b. Dari segi hubungan antara guru dan murid nampak semua perawi adalah guru dan murid bagi perawi lainnya. c. Beberapa  perawi berdomisili di Bashrah yang memungkinkan mereka semua bertemu. Terkecuali Abdullah bin Muhammad yang tinggal di Thabariyah.
2. Dari segi ke’adalahan dan kedhabitan, dapat dinyatakan bahwa jalur riwayat Abu Daud adalah ‘adil dan dhabit. Hal ini didasarkan dari penilaian seluruh kritikus yang menyatakan seluruh perawi dengan pernyataan positif (ta’dil) sehingga sanadnya kuat. Meski Abdullah bin Muhammad dinilai sebagai perawi syaikh sholeh namun, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Hajar, ia berstatus tsiqah. Namun demikian, Abu Daud menilai hadis tersebut dengan penilaian Dhoif.       
3. Hadis jalur At Tirmizi dapat dinyatakan bersambung karena: a. Jarak antara satu perawi dengan perawi lainnya memungkin mereka untuk bertemu. b. Masing-masing perawi berstatus sebagai guru dan murid untuk perawi lainnya sehingga terjadi interaksi dan keterhubungan. c. Beberapa perawi merupakan penduduk Bashrah dan Kufah yang mana berdekatan sehingga memungkinkan untuk bertemu.
4. Dari segi ke’adalahan dan kedhabitan masing-masing perawi, bebrapa perawinya adalah ‘adil dan dhabit. Kecuali Suhail yang dinilaiIbnu Hajar sebagai Dhoif.   



2. Kritik Matan.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, kaedah kesahihan matan hadis terdiri dari dua hal yakni terbebas dari syadz dan ‘illah hadis. Syadz menurut pengertian ulama hadis adalah hadis yang diriwayatkan perawi maqbul bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat. Sedang ‘illah adalah hadis yang lahirnya tampak selamat dari kecacatan namun setelah diteliti akan nampak cacatnya baik karena memaushulkan yang mursal, memarfu’kan yang mauquf atau memasukkan hadis pada hadis lainnya dan lainnya.[8]
Menurut Syuhudi, ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam penelitian matan yakni; 1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, 2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna, 3. Meneliti kandungan matan.[9] Meneliti susunan lafal berkaitan dengan unsur ke’illahan hadis sedang meneliti kandungan matan berkenaan dengan kesyadzan hadis
Berdasarkan langkah metodologis dalam penelitian matan tersebut, Arifuddin Ahmad kemudian merincinya dengan memasukkan kaedah minor dalam syadz dan ‘illah pada matan hadis. Unsur kaedah minor syadz, menurutnya, adalah adalah 1. Sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri; 2. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih kuat; 3 Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan 4. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah.[10] Di sisi lain, al-Adhlaby menyebutkan bahwa suatu matan hadis dapat diterima kehujjahannya apabila: (1) Tidak bertentangan dengan Alquran; (2) tidak bertentangan dengan hadis lainnya yang lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan indera, akal sehat dan fakta sejarah; dan (4) matan hadis menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[11]
Sedang kaidah minor matan hadis yang mengandung ‘illah adalah 1. Matan hadis bersangkutan tidak mengandung idraj[12] (sisipan); 2. Matan hadis bersangkutan tidak mengandung ziyadah[13] (tambahan); 3. Tidak terjadi maqlub[14] (pergantian lafal atau kalimat) bagi matan hadis bersangkutan; 4. Tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) bagi matan hadis bersangkutan; dan 5. Tidak terjadi kerancuan lafal dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis bersangkutan. Jika ‘illah hadis itu mengandung pertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung syudzudz.[15]
Untuk meneliti kesahehan matan, penulis menggunakan kaedah metodologis yang dikemukakan Syuhudi Ismail di atas.
1. Meneliti kualitas sanad
Sebagaimana dijelaskan di atas, kedua jalur sanad hadis yang diteliti yakni Abu Daud dan At Tirmizi berkualitas shahih.
2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
Berdasarkan hadis yang disebutkan di atas, terdapat 2 hadis dari 2 kitab hadis dengan berbagai variannya. Pada riwayat Abu Daud terdapat 1 hadis, Tirmizi 1 hadis. Di sini penulis berusaha membandingkan dua matan hadis yang tengah dikaji pada penelitian sanad hadis yakni riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Muhammad dan riwayat At  Turmuzi dari Hibban bin Hilal.
Varian
II
Varian
I

المخرج
1فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ 2فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ


1مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ
2مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ
 الترميذى1

2 ابو داود


Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan:
a. Seluruh hadis tersebut adalah hadis qauliyah yakni perbuatan Nabi yang direkam oleh sahabat Jundub atau lebih dikenal Abu Dzar Al Gifari.
b. Hadis tersebut diceritakan Abu Dzar Al Gifari kepada muridnya dalam satu versi yang sama namun kemudian diriwayatkan oleh perawi yang berada di bawahnya dengan berbagai versi. Berdasarkan kajian terhadap matan hadis, ada dua versi hadis yang berbeda dimana masing-masing memiliki ciri tertentu. Hadis dari At Turmuzi disebutkan bahwa Abu ‘Isa Mengatakan bahwa hadits ini Gharib.
c. Tidak ada pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya.
Berdasarkan matan di atas, dua versi periwayatan hadis di atas tidak terdapat pertentangan antara satu dengan lainnya. Adapun unsur ‘illah dalam hadis tersebut seperti ziyadah, idraj, maqlub dan idhthirab tidak ditemukan pada dua jalur periwayatan yang tengah diteliti yakni jalur Abu Daud dari Abdullah bin Muhammad dan Tirmizi dari Hibban bin Hilal.
3. Meneliti kandungan matan
Sebagaimana dijelaskan Arifuddin Ahmad, meneliti kandungan matan berarti meneliti kemungkinan ada atau tidaknya syadz dalam hadis tersebut. Adapun unsur-unsur kaedah minor syadz adalah pertentangannya muatannya dengan kandungan hadis yang lebih kuat, al-Quran atau akal dan fakta sejarah. Hadis di atas berbicara tentang peringatan Nabi kepada umatnya dalam menafsirkan Al-Quran. Nabi tidak tidak menganjurkan kita untuk menafsirkan Al-Quran dengan Ra’yu kita.
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits tersebut memiliki dua penafsiran:
Pertama :   Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua :      Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri di neraka.[16]
Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار
( رواه التر مذ )
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia   menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas )
Dengan demikian, hadis yang berbicara tentang menafsirkan Al-Quran dengan Ra’yi tidak bertentangan dengan hadis lainnya sebagaimana dijelaskan di atas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu yang terbagi dalam dua pendapat :

Pertama               :Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Kedua                 :Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan           syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari kebanyakan ulama (jumhur ulama).

            Menurut al-Zarkasyi, ada beberapa syarat untuk dapat diterimanya tafsir bi al-ra’yi, diantaranya adalah:
a)      Bersandar pada apa yang berasal dari Rasulullah SAW, dengan berusaha menghindarkan diri dari hadits-hadits dhoif dan maudhu’
b)      Berpegang pada keterangan sahabat, terutama yang bernilai marfu’ seperti menggunakan asbab al-nuzul sebagai penjelas dan lain sebagainya.
c)      Bersandar pada kaidah-kaidah ilmu bahasa, dengan menjaga diri dari pembelokan terhadap ayat-ayat al-Quran kepada makna-makna yang berlawanan dengan kehendak atau ruh syara’, kecuali makna yang sudah biasa dan umum digunakan oleh bangsa arab sendiri.
Bersandar pada apa yang dikehendaki oleh alur pembicaraan, dan benar-benar ditunjukan oleh aturan syara’. Macam yang keempat ini tergolong jenis ta’wil.[17]
Hadits ini sendiri setelah diteliti ternyata bertentangan dengan Al-Quran yang berbunyi:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [٢:١٦٩]
Artinya :
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqoroh : 169)



III. KESIMPULAN

Dalam kutub tis’ah, terdapat dua hadis yang berbicara tentang menafsirkan Al-Quran dengan Ra’yi. Hadis tersebut tersebar dalam dua kitab hadis yakni Sunan Abu Daud  satu hadits, Tirmizi memuat satu hadis.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kualitas sanad dan matannya, penulis berkesimpulan bahwa hadis yang diteliti yakni hadis riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Muhammad dan hadis riwayat Turmuzi dari Hibban bin Hilal adalah hadits Dhoif. Dalam penelitian sanad ditemukan bahwa dua jalur periwayatan hadis tersebut seluruh rangkaiannya bersambung, perawinya adalah perawi yang tsiqah (adil dan dhabit). Sementara dalam penelitian matan ditemukan argument bahwa matan hadis tersebut adalah hadis qauliyah yang diriwayatkan secara beragam oleh murid perawi dibawahnya, meskipun, menurut penulis, semula diriwayatkan dalam satu versi oleh Jundub. Dua jalur periwayatan yang diteliti tidak ditemukan unsur ‘illah berupa ziyadah, idraj, taqlib maupun idhthirab. Sedang pada unsur syadz, ditemukan pertentangan hadis tersebut dengan al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa hadis di atas adalah shahih  sanadnya sedangkan matannya dhoif. 



DAFTAR PUSTAKA

A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi, Leiden E.J. Bril, 1943, juz. IV



Abu Muhammad Abd al-Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi wa Sallam, ttp, Dar al-‘Itisham, tth
Arief Halim, Metodologi Tahqiq Hadis Secara Mudah dan Munasabah, Malaysia, Univ. Sains Malaysia, 2007
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Jakarta, MSCC, 2005

Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahzhib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1992, Juz. 32

al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah, Mesir, al-Mathba’ah al-Sa’adah, 1972

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, Cet. I
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut, Dar al-Fikr, 1988

Shalahuddin Ahmad al-Adhibiy, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda’ Ulami al-Hadis al-Nabawiy, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th
            Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin Bandung, Pustaka Setia, 1998 , 258
            Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman: Penerbit Teras, 2010


[1]Arief Halim, Metodologi Tahqiq Hadis Secara Mudah dan Munasabah, (Malaysia: Univ. Sains Malaysia, 2007), 41.
[2]Abu Muhammad Abd al-Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi wa Sallam, (ttp: Dar al-‘Itisham, tth), h. 10.
[3]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. I, h. 44. 
[4]. Ibid, h. 24. M. Syuhudi Ismail kemudian meringkaskan metode takhrij tersebut melalui dua cara yakni takhrij bi alfazh dan takhrij bi al-maudhu’. Llihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 46.
[5]. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis …, h. 367.
[6]. Ibid, h. 170. 
[7]. Menurut Shubhi Shalih, hadist shahih adalah hadis musnad yang bersambung sanadnya dengan perawi yang adil lagi dhabit dari perawi yang adil lagi dhabit pula. Semua perawi tersebut sampai kepada Nabi atau sahabat atau tabi’in dan tidak terdapat syadz serta illah. Lihat, Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ulum li al-Malayin, 1988), h. 145.
[8]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis, (Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, 1971), h. 130
[9]M. Syuhudi Ismail,  Metodologi Penelitian …, h. 121
[10]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, (Jakarta: MSCC, 2005), h. 108.
[11]Shalahuddin Ahmad al-Adhlaby, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda’ Ulami al-Hadis al-Nabawiy, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.), h. 238; Bandingkan dengan pendapat al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah,  (Mesir: al-Mathba’ah al-Sa’adah, 1972), h. 206-207.
[12]Idraj adalah tambahan  yang diberikan oleh salah seorang rawi baik oleh generasi sahabat maupun sesudahnya, yang tambahan tersebut bersambung dengan matan hadis asli yang berasal dari Rasulullah. Penambahan tersebut dapat terjadi pada permulaan, pertengahan maupun akhir dari suatu matan dan biasanya merupakan penafsiran atau keterangan-keterangan kandungan hukum untuk kata-kata atau pernyataan dari bagian matan tertentu yang dikemukakan oleh rawi tertentu. Lihat, Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 440.  
[13]Secara bahasa, kata ziyadah berarti tambahan. Menurut istilah ilmu hadis, ziyadah pada matan adalah tambahan lafazh atau kalimat  yang terdapat pada matan yang ditambahkan oleh rawi tertentu, sementara rawi lain tidak mengemukakannya. Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ul­m al-Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul ‘Ulum al-Hadis 2, (Cet. II; Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 230.
[14]Hadis disebut maqlub maksudnya hadis yang terjadi pemutarbalikan pada redaksi hadis, yang dilakukan oleh seorang rawi baik disengaja maupun tidak. Indikasi adanya pemutarbalikan itu terlihat pada: 1) seorang rawi mendahulukan suatu matan hadis yang seharusnya diletakkan pada akhir matan atau sebaliknya; 2) seorang rawi menjadikan suatu matan hadis (yang sudah jelas sanadnya) ditempatkan pada sanad yang lain. Mahmud Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 108.
[15]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru …, h. 109
[16] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
[17] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Penerbit Teras, 2010) h.351

ARTIKEL TERKAIT:

1 Ninggal jejak

Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadis, (Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy, 1971), h. 130 Tinder क्या है? Also Checkout My BlogNowMing

Post a Comment

Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D

NB: No Porn, No Sara', No women, No cry

Cari disini

#Pengunjung

Instagram