Ikuti @fauzinesia

CARA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT

Enonk 4 6/27/2012



A. Pengertian Mendekatkan Diri (Taqarrub) Kepada Allah Swt
Dalam istilah akhlak, kata ini diartikan dengan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada dasarnya manusia dekat dengan Allah Swt. Kedekatan manusia dengan Allah di sini bukan dalam arti fisik, karena Allah dengan semua sifat dan perbuatan-Nya tidak mungkin dibayangkan dalam bentuk materi yang dapat dibayangkan. Sesuatu yang mungkin dibayangkan adalah materi dan Allah bukan bersifat materi. Antara Allah dan manusia tidak ada jarak ruang dan waktu dalam arti materi. Antara Allah dengan manusia yang jaraknya disebut oleh Al-Qur’an dengan qarib (dekat) bermakna abstrak, yaitu jarak yang terjadi antara rohani (hati) manusia dengan Allah.
Dekatnya Allah kepada manusia dinyatakan dalam ayat-ayat Allah , seperti pada ayat:


“Apabila engkau (Muhammad) ditanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat... “. (QS. Al-Baqarah: 186)


“Kami lebih dekat (kepada manusia) dari pada urat lehernya...”
(QS. Qaf:16)




B. Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah Swt
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Qaf: 16 yang tersebut di atas, “Aku dekat denganmu, seperti dekatnya engkau dengan urat lehermu sendiri.” Ini merupakan pernyataan Allah untuk manusia. Kepada manusia Allah Swt mengingatkan bahwasanya Dia sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya. Apabila hamba mendekati-Nya, pasti Allah akan lebih mendekati si hamba. Sebaliknya apabila si hamba menjauhkan diri dari Allah, sudah tentu Allah jauh dari dirinya. Karena si hamba menjauhkan diri dari Dzat yang memang selalu dekat dengan dirinya.
Allah Swt telah menyediakan waktu bagi para hamba yang ingin selalu berdekatan dengan Yang Maha Pencipta, melalui bermacam-macam ibadah yang perlu ditekuni sepenuh jiwanya.
Taqarrubnya orang beriman adalah ma’rifatnya kepada Yang Maha Melihat. Ta’abbudnya orang beriman adalah syuhudnya kepada yang Maha Perkasa. Semakin dekat seorang hamba dengan Allah Swt, Semakin kokoh keimanannya dan semakin taat ibadahnya.
Nabi Saw mengisyaratkan taqarrubnya orang beriman dengan Allah Swt , dalam sabda beliau:
“Aku selalu mengikuti dugaan hamba-hamba-Ku. Aku juga selalu melindunginya apabila ia ingat kepada-Ku. Jika ia mengingat Aku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila ia mengingat Aku ketika berada bersama serombongan manusia, maka Aku akan mengingatnya dalam rombongan yang lebih baik dan besar lagi. Jika ia mendekati Aku satu jengkal, maka Aku akan rnendekatinya satu hasta. Jika ia datang mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika ia datang mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang mendekatinya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Imran al-Wasithi, salah seorang sufi besar pada abad XII H., bercerita: Pada suatu hari, aku berada pada sebuah kapal di lautan. Tanpa diduga, kapal itu bocor. Tinggallah aku dengan istriku yang sedang hamil. Tiba-tiba ia melahirkan anak. Ia menginginkan air. Aku angkat kepalaku ke langit memohon kepada Allah agar diberikan air minum untuk istriku. Lalu aku lihat ke langit ada seorang lelaki yang duduk di atas udara. Pada tangannya ada cawan air yang kemerah-merahan seperti disepuh emas. Ia berkata, “Ambillah cawan air ini.” Aku keheranan. Bagaimana mungkin ia bisa berada di atas awan. (Dalarn bahasa Arab, awan disebut hawa. Dan hawa rnempunyai arti yang lain, yaitu hawa nafsu). Aku bertanya kepadanya, “Bagaimana kau bisa berada di atas hawa?” Ia menjawab, “Taraktu hawâya fa ajlasani fi1 hawã. Aku sudah meninggalkan hawa nafsuku; karena itu, Tuhan memberiku kedudukan di atas hawa.”
Seperti biasa, kisah-kisah sufi tidak bisa dicerna begitu saja. Kita harus merenung agak dalam. Dalam perjalanan seorang sufi, dalam rangka mendekati Allah Swt, tidak ada penghalang yang paling besar yang menutupi jalan menuju Tuhan, selain hawa nafsu.
Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan diri. Nafsu diterjemahkan sebagai egoisme; kecenderungan kita untuk mencapai keinginan-keinginan diri. Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan, dan dianggap sebagai orang yang paling penting, yang biasanya lazim kita sebut sebagai kepongahan atau arogansi itu, semuanya termasuk ke dalam hawa nafsu. Tuhan tidak bisa didekati apabila hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Seorang sufi hanya bisa mendekati Allah Swt dengan menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya itu.
Para sufi menjelaskan apa yang disebut dengan hawa nafsu dengan menerangkan struktur kepribadian kita. Paling tidak, ada tiga kekuatan hawa nafsu di dalam diri kita, sebagai berikut:
1. Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Dalam diri kita, terkandung unsur-unsur kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan sensual.
2. Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas. Jauh dalam diri kita, kita memiliki kekuatan binatang buas. Kita senang menyerang orang lain. Kita suka memakan hak orang lain. Kita ingin membenci, menyerang, menghancurkan atau mendengki orang lain.
3. Quwwatun Syaithaniyyah. lnilah kekuatan yang mendorong kita untuk membenarkan segala kejahatan yang kita lakukan. Kalau kita mengambil hak orang lain, setan membisikkan dalam hati kita agar kita tidak usah merasa bersalah sebab kita mengambil hak orang lain untuk dipergunakan membantu saudara-saudara kita. Kita boleh jadi korupsi sejumlah satu milyar rupiah; kemudian kita redakan perasaan bersalah kita dengan memberikan infak satu juta rupiah. Setan akan berkata bahwa perbuatan korupsi yang kita lakukan tidak lain adalah untuk membantu kepentingan orang lain juga. Ketiga kekuatan ini berasal dari hawa nafsu.
Namun, Tuhan juga menyimpan dalam diri kita, sebagai satu bagian penting dari kepribadian kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan Quwwatun Rabbãniyyah, kekuatan Tuhan. Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita. Apabila keinginan untuk mengejar hawa nafsu itu yang menguasai diri kita, maka kita sebenarnya adalah binatang-binatang secara ruhaniah. Walaupun, secara jasmaniah, kita menampakkan penampilan yang seperti manusia.
Apabila kita senang memelihara dendam, perasaan iri hati, kejengkelan, dan kemarahan dalam hati kita, kita adalah serigala-serigala yang buas. Apabila dalam diri kita, yang berkuasa adalah kepandaian mencari dalih dan alasan untuk membenarkan kekeliruan-kekeliruan kita, secara hakikat kita sebetulnya adalah setan yang mempunyai penampilan sebagai manusia. Sebaliknya, bila akal yang menundukkan ketiga-tiganya, kita akan dibimbing akal untuk menempuh perjalanan ruhani menempuh Allah Swt. Tugas akal adalahmengendalikan seluruh hawa nafsu itu. Dengan cara itulah, kita dapat mendekati Allah Swt.
Taqarrub ilallah, termasuk salah satu maqamshufiyah yang menjadi tujuan perjalanan ilmu tasawuf. Bertaqarrub kepada Allah seperti bunyi hadis tersebut di atas, merupakan amal yang memberi kelezatan dalam hati. Tidak hanya ketenteraman qalb yang dijanjikan, akan tetapi hati yang tenteram, manis dan lezat cita rasanya. Ada keteduhan yang diperoleh seorang hamba dari naungan taqarrub. Sabda Nabi Saw di atas adalah penegasan yang menjanjikan bagi setiap orang beriman, kalau engkau mendekati Allah, pasti Allah akan mendekatimu, bahkan dekatnya Allah kepada orang-orang mukmin lebih cepat dan lebih dekat daripada mendekatnya si hamba kepada Rabbnya.
Bentuk pendekatan orang mukmin selain melalui ibadah-ibadah wajib, juga diamalkan melalui ibadah-ibadah sunnat. Bahkan melalui ibadah-ibadah sunnat lebih disukai Allah Swt. Melalui ibadah-ibadah wajib adalah pendekatan (taqarrub) yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai tanda taat dan cintanya si hamba kepada Rabbnya, sedangkan melalui ibadah-ibadah sunnat, menunjukkan kesenangan dan kecintaan yang sangat, sehingga si hamba datang kepada Rabbnya melalui jalan yang tidak diwajibkan, namun sangat disukai oleh Allah Swt.
Nabi Muhammad saw bersabda:








“Tiadalah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih aku sukai dan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Senantiasa hamba-Ku datang kepada-Ku dengan taqarrub yang sunnat-sunnat (amalan nafilah), hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar. Aku menjadi penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat. Aku menjadi tangannya yang ia pergunakan untuk memegang. Aku menjadi kakinya yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia memohon pertolongan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya pertolongan. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, tentu Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari)

Imam Baihaqi menjelaskan hadis dari Aisyah ra: “Tidak sesaat pun masa yang dilalui anak Adam. Ketika ia jauh (lupa) kepada Allah, maka kelalaiannya itu dihitung sebagai suatu kerugian baginya di hari kiamat.”
Sahabat Abu Darda’ berkata: “Segala sesuatu itu mempunyai cahaya cemerlang, maka cemerlangnya hati adalah ingat dan taqarrub kepada Allah.” Dekatnya seorang hamba kepada Allah akan mengangkat kedudukannya sebagai mukmin yang senantiasa berusaha menggapai ridha Allah. Karena dengan ridha Allah sajalah semua hambatan akan terkoyak-koyak, dan martabat imannya akan naik ke atas maqam para muqarrabin dan shiddiqin.
Hati orang beriman akan tetap hidup di dalam semua keadaan, selalu melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Pada dasarnya iman seorang hamba adalah dengan melaksanakan ibadah dan bertaqarrub kepada Yang Maha Mencipta. Kemantapan hati dan istiqamahnya jiwa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunnat.
Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa seseorang teguh kepada agama Allah, kalau ia tetap bermaksiat dan melanggar larangan-larangan Allah. Sementara ada pula hamba yang rajin beribadah, namun ia tetap saja berbuat maksiat. Ia beriman tetapi juga berlaku fasik. Kelemahan ibadahnya seorang hamba adalah keengganannya mengontrol hati dan jiwanya. Semua ibadah selalu dikerjakan sebagai amalan rutinitas yang tidak berjiwa. Ia tidak mendapatkan ruh ma’nawiyah dari sekian ibadah yang telah dilaksanakan. Yang diperolehnya hanyalah perbuatan fi’liyah.
Meskipun Tuhan mengatakan bahwa Dia selalu dekat kepada manusia, tetapi karena perbuatan dosa manusia itu sendiri menjadikannya jauh dari Tuhan dalam arti inmateri . Demikian yang dijelaskan Nabi dalam hadis berikut:




“Apabila seorang mukmin berbuat satu dosa, maka terjadilah satu bintik hitam di hatinya. Apabila dosa itu semakin banyak dilakukannya, maka semakin banyaklah pula bintik hitam mewarnai hatinya, sampai pada satu saat hatinya dipenuhi bintik hitam tersebut”.(HR. Ahmad)
Ia dapat mengumpulkan sekian pahala, namun ia kehilangan kelezatan ibadah yang seharusnya ia nikmati. Sedangkan taqarrubnya seorang hamba kepada Allah, tidak lain adaläh untuk mendapatkan kelezatan dan manisnya ibadah.
Dalam melaksanakan ibadah, seorang hamba tidak sepantasnya mengandalkan kepada kemampuan dirinya. Manusia dengan ibadahnya tidak terlepas dari godaan dan tipuan setan. Mungkin saja ia tertipu melalui keikhlasannya, melalui sikap-sikap ibadahnya, melalui penonjolan dirinya yang melahirkan ujub dan riya’.
Orang beriman tidak pernah sepi dari tipuan-tipuan setan yang akan selalu merongrongnya dengan cara yang paling halus sampai yang paling kasar. Seorang ‘abid yang sadar akan ibadahnya, ia selalu memohon kepada Allah Swt, agar selalu menolongnya menghadapi rongrongan dan tipuan setan.
Iman yang lemah memberi peluang bagi setan untuk menunggangi hawa nafsu. Jika hawa nafsu sudah ditunggangi oleh setan, maka seseorang menjadi lupa kepada Allah dan di saat itu ia dengan mudah melakukan sesuatu yang dilarang (dosa) yang mengakibatkannya jauh dari Allah. Orang yang jauh dari Allah berarti orang yang jarang mengingat Allah. Dalam keadaan seperti ini ia selalu merasa gelisah, tidak ada ketenangan dan ketenteraman pada batin.



“Barangsiapa sudah berpaling (lupa) kepada Allah, maka sesungguhnya ia menghadapi kehidupan yang sempit ...“.(QS. Thaha: 100)
Karena merasa bosan dan tidak tahan selalu dalam kegelisahan dan sadar bahwa ia telah jauh dari Allah, maka timbullah keinginan untuk kembali mendekatkaan diri kepada Allah. Allah senang kepada orang yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya , seperti yang diterangkan dalam sebuah sabda Rasul Saw.:





“Apabila hamba-Ku datang mendekatkan diri satu jengkal, maka Aku akan datang mendekatkan diri satu hasta. Dan apabila ia datang satu hasta, maka Aku akan datang mendekatinya satu depan. Jika ia datang kepada-Ku berjalan kaki biasa, maka Aku datang kepadanya dengan berlari“. (HR Bukhari)
Taqarrub adalah kemurnian mahabbah ‘abid kepada ma’bud-Nya. Justru karena kemurnian itulah, Allah Ta’ala menyediakan tempat di sisi-Nya, agar setiap mukminin meningkatkan taqarrubnya menjadi pengorbanan melalui jihad fi sabilillah bil amwal wal anfus.
Kewajiban yang mulia ini harus dimiliki oleh setiap mukminin apabila ia ingin mendapatkan tempat yang paling terhormat di sisi Allah Yang Maha Agung. Kewajiban jihad ini sebagai taqarrub Semata-mata birridhaillahi Ta’ala. Tidak membedakan di antara kaum mukminin yang ingin mempersembahkan qurban jihadnya. Orang-orang shalihin, shiddiqin, syahidin, orang-orang awam dan kalangan mukminin, masing-masing mempunyai hak yang sama di sisi Allah Swt, baik pahala maupun kenikmatannya.
Dalam kajian akhlak dan tasawwuf, ada tiga jalan yang dapat ditempuh agar bisa dekat kembali kepada Allah.
1. Taubat kepada Allah dengan arti mengakui dan menyesali semua perbuatan dosa yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Taubat berarti menghapus dosa-dosa yang mengotori hati yang sebelumnya membuat jarak antara manusia dengan Allah.
2. Beramal ibadah sebanyak mungkin, baik amal-amal yang diwajibkan maupun yang disunatkan. Hakikat amal ibadah dalam Islam ialah mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak salah jika dikatakan bahwa amal ibadah sebagai jembatan penghubung antara manusia dengan Tuhannya.
3. Melakukan tafakkul yaitu perenungan terhadap diri dan terhadap alam semesta ciptaan Allah. Firman Allah Swt:





“Dan mereka memikirkan penciptaan planet bumi dan langit. (Mereka berkata) Tuhan kami, tidak ada yang Engkau ciptakan ini yang sia-sia. Maha suci Engkau, peliharalah kami dari azab neraka“. (QS. Al-Imran: 191)
Merenung dan memikirkan keajaiban alam ciptaan Allah ini menambah keyakinan akan ke-Mahakuasaan Allah. Penguatan keyakinan ini pada akhirnya memperkokoh keimanan dan kedekatan kepada Allah. Kedekatan ini diaplikasikan dengan memperlakukan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Dalam istilah akhlak, mendekatkan diri kepada Allah Swt (Taqarrub kepada Allah) diartikan dengan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam rangka mendekati Allah Swt, tidak ada penghalang yang paling besar yang menutupi jalan menuju Tuhan, selain hawa nafsu. Paling tidak, ada tiga kekuatan hawa nafsu di dalam diri kita: Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan, Quwwatun Sab’iyyah atau kekuatan binatang buas dan Quwwatun Syaithaniyyah.Namun, Tuhan juga menyimpan dalam diri kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan Quwwatun Rabbãniyyah, kekuatan Tuhan. Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita.Tugas akal adalah mengendalikan seluruh hawa nafsu itu. Dengan cara itulah, kita dapat mendekati Allah Swt.
Dalam kajian akhlak dan tasawwuf, ada tiga jalan yang dapat ditempuh agar bisa dekat kembali kepada Allah.
1. Taubat kepada Allah dengan arti mengakui dan menyesali semua perbuatan dosa yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
2. Beramal ibadah sebanyak mungkin, baik amal-amal yang diwajibkan maupun yang disunatkan.
3. Melakukan tafakkul yaitu perenungan terhadap diri dan terhadap alam semesta ciptaan Allah.Merenung dan memikirkan keajaiban alam ciptaan Allah ini menambah keyakinan akan ke-Mahakuasaan Allah yang akan mendekatkan diri kita kepada-Nya.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Buny, Djamaluddin. 2002. Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Ritonga, Rahman. 2005. Akidah (Merakit Hubungan Manusia Dengan Khaliknya Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini. Surabaya: Amelia.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Meraih Cinta Ilahi (Pencerahan Sufistik). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

ARTIKEL TERKAIT:

4 Ninggal jejak

Assalammualaikum . . Asya ingin bertanya . . Adakah solat asya diterima sedangkan asya dah lama tak mendiri kan nya ? Asya dah terlalu jauh dari allah . . Bila nak sujud terasa sungguh malu . .

Insya Allah diterima mbak. Selanjutnya, shalat yang ketinggalah di qadha.:-)

Quwwatun Syaithaniyyah. lnilah kekuatan yang mendorong kita untuk membenarkan segala kejahatan yang kita lakukan. Kalau kita mengambil hak orang lain, setan membisikkan dalam hati kita agar kita tidak usah merasa bersalah sebab kita mengambil hak orang lain untuk dipergunakan membantu saudara-saudara kita.

kayaknya di situ banyak orang yang kenak om,.. dia melakukan hal itu bertujuan baik,..padahal dia mendapatkannya dengan tidak baik,..

Semoga saja bisa memperbaiki iman saya dan solat saya amin yah allah dan berilah hamba mu hidaya ya allah sehingga membuat benar benar yakin bahwa engkau lah allah tuhan kami

Post a Comment

Mari kasih komentar, kritik, dan saran. Jangan lupa juga isi buku tamunya. :D

NB: No Porn, No Sara', No women, No cry

Cari disini

Cerita² Enonk

#Pengunjung

Instagram